SELASA, 20 MEI 2025
Dalam perjalanan hidup yang sering kali penuh luka dan kekecewaan, manusia selalu merindukan damai. Damai yang bukan hanya berarti tidak adanya konflik, melainkan ketenangan batin yang memampukan seseorang untuk tetap berdiri ketika badai datang. Bacaan-bacaan hari ini membawa kita masuk ke dalam ruang terdalam kerinduan itu—bukan sekadar damai duniawi, melainkan damai yang bersumber dari Kristus sendiri, yang tidak dapat diberikan oleh dunia.
Dalam Kisah Para Rasul 14:19-28, kita membaca bagaimana Paulus, meskipun dilempari batu dan diseret keluar kota hingga diduga mati, tetap bangkit kembali dan melanjutkan pewartaan Injil. Ini bukan sekadar kisah keteguhan manusia, tetapi juga bukti dari sebuah kedamaian dan keyakinan mendalam yang tidak digoyahkan oleh ancaman atau penderitaan. Damai itu bukan hasil dari situasi yang menyenangkan, melainkan buah dari kesatuan hati dengan Kristus yang bangkit.
Mazmur 145 menggema sebagai nyanyian pengakuan bahwa segala yang hidup memuji Tuhan karena kasih-Nya yang kekal. Ayat-ayat ini menjadi respons rohani terhadap pengalaman seperti yang dialami Paulus—bahwa dalam segala sesuatu, terutama penderitaan, kita menemukan kemuliaan Allah yang dinyatakan. “Segala yang Kaujanjikan itu benar, dan segala pekerjaan-Mu penuh kasih setia” (Mzm. 145:13b). Di tengah luka dunia, mazmur ini menyerukan bahwa damai sejati hanya datang dari Dia yang setia.
Dalam Injil Yohanes 14:27-31a, Yesus mengucapkan kata-kata penghiburan kepada para murid-Nya sebelum Ia meninggalkan mereka. “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu; dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” Kata-kata ini menjadi kunci bagi seluruh penghayatan iman Kristen: damai sejati bukanlah hasil dari kompromi atau keberhasilan duniawi, tetapi anugerah yang mengalir dari hati Allah sendiri, yang dikenal melalui relasi kasih.
Teolog terkenal N.T. Wright (2004) dalam “John for Everyone” menyatakan bahwa damai dalam Injil Yohanes bukanlah konsep pasif, melainkan suatu dinamika aktif relasi dengan Allah yang membawa keteguhan dalam krisis. Sementara Raymond E. Brown (1970), dalam “The Gospel According to John”, menekankan bahwa damai yang ditawarkan Yesus berkaitan erat dengan pencurahan Roh Kudus, yang memampukan Gereja untuk tetap hidup meskipun dalam persekusi.
Refleksi ini mengajarkan kita bahwa mengikuti Kristus bukanlah jaminan hidup bebas dari luka. Bahkan, luka itu menjadi jalan untuk memperlihatkan damai surgawi yang tidak bisa dirusak oleh situasi dunia. Paulus yang berdiri kembali setelah diserang, para murid yang tetap setia meski kehilangan Guru mereka, dan gema Mazmur yang terus memuji di tengah penderitaan, semuanya menunjuk pada satu hal: damai Kristus adalah kekuatan tersembunyi yang mengangkat, menguatkan, dan memberi makna baru dalam kerapuhan manusia.
Di dunia yang menawarkan damai semu—lewat penghiburan instan, ilusi kesuksesan, dan pelarian dari penderitaan—kita diajak untuk masuk lebih dalam ke dalam damai yang berasal dari salib dan kebangkitan. Damai yang tidak menggoda lewat kemewahan, tetapi mengundang lewat kelembutan dan kesetiaan. Damai yang meneguhkan ketika semua orang pergi. Damai yang tetap menyala ketika terang dunia padam.
Semoga kita menjadi pewarta damai seperti Paulus, penyanyi damai seperti pemazmur, dan penerima damai seperti para murid. Di situlah, dunia akan melihat kemuliaan Tuhan dinyatakan, bukan karena kita bebas dari luka, tetapi karena di dalam luka, kita menemukan Kristus yang hadir.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. (1970). The Gospel According to John (XIII–XXI). New York: Doubleday.
- Wright, N. T. (2004). John for Everyone, Part 2: Chapters 11-21. Westminster John Knox Press.
- Keener, Craig S. (2012). Acts: An Exegetical Commentary, Volume 2. Grand Rapids: Baker Academic.
- Brueggemann, Walter. (1984). The Message of the Psalms. Minneapolis: Augsburg Publishing House.