Wina Agustina Simarmata, Mahasiswi STP Bonaventura Keuskupan Agung Medan
Apa yang membuat sosok Dorothy Day begitu mencerminkan pribadi Kristus bukan sekadar kata-kata yang terucap dari bibirnya, melainkan bagaimana ia sungguh menjalani setiap detik hidupnya dengan ketulusan dan keberanian. Seperti Kristus yang lahir di palungan — tempat sederhana, jauh dari kemegahan — Dorothy pun dengan penuh kesadaran memilih hidup di pinggiran masyarakat, di tempat di mana banyak orang terlupakan dan terbuang.
Ia tidak mengejar kemenangan politik yang gemilang, atau pujian dari lembaga Gereja yang besar. Yang ia cari adalah kesetiaan. Kesetiaan terhadap suara hati dan Injil yang ia genggam erat seumur hidup. Sepanjang perjalanannya, Dorothy tak pernah berhenti menolak kekerasan dalam bentuk apa pun. Dalam setiap konflik dan perang yang terjadi, termasuk saat Perang Dunia II mengguncang dunia, ia menjadi salah satu dari sedikit suara Katolik yang berani berkata: “Tidak.”
Penolakannya bukanlah wujud kebencian terhadap bangsanya, melainkan karena cintanya yang begitu dalam terhadap ajaran Kristus yang berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Pilihan ini membuatnya sering dicaci, dikritik, bahkan harus merasakan penjara. Tetapi, seperti Yesus yang tetap melangkah dengan tangan terbuka dan hati penuh pengampunan, Dorothy Day tidak pernah membalas dengan kebencian, tidak pernah menyerah.
Kepemimpinannya bukan lahir dari kekuasaan, jabatan, atau kemegahan duniawi. Ia hadir dan memimpin karena cinta yang tulus, karena panggilan untuk melayani dengan rendah hati. Dorothy memilih jalan yang tak populer, jalan yang kerap menyakitkan, tetapi ia tahu itulah jalan sejati seorang pelayan.
Dalam Injil, Yesus berkata dengan jelas, “Barangsiapa ingin menjadi yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Matius 20:26). Dorothy tidak menanggapi ayat ini dengan pidato atau retorika yang menggelegar. Ia menanggapinya dengan tindakan nyata. Ia mencuci piring di dapur rumah penampungan, menulis artikel dan surat hingga larut malam, menyambut orang-orang yang tak diterima di tempat lain, dengan senyum dan kehangatan.
Kepemimpinan Dorothy Day adalah kepemimpinan yang menuntut kerendahan hati, keteguhan hati, dan keberanian untuk hidup di antara mereka yang tersingkir. Ia mengajarkan bahwa menjadi pemimpin bukan berarti duduk di atas takhta kekuasaan, melainkan berjalan bersama, hadir di jalan-jalan sunyi, dan tanpa ragu merangkul mereka yang lemah. Dengan jejak langkah pengorbanan itu, Dorothy membuktikan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari hati yang mencintai tanpa syarat — cinta yang tak menuntut takhta, tetapi rela merendah demi kebaikan bersama.
Doa yang Menjadi Roti, Iman yang Menjadi Tempat Berteduh
Tak banyak orang mampu melihat sebuah dapur umum sebagai ruang suci dan sakral. Namun bagi Dorothy Day, di sanalah tubuh Kristus hadir. Bukan hanya di altar gereja yang megah, tetapi juga di dapur sempit, di lantai yang kotor, di pinggir ranjang orang sakit, di tengah air mata anak-anak jalanan yang terlupakan dunia.
Kepemimpinan Dorothy Day bukan sekadar soal memimpin lewat kata-kata. Hidupnya adalah sebuah liturgi duniawi yang terus berdenyut. Ia memimpin misa kehidupan, di mana sakramen utamanya bukan roti dan anggur saja, melainkan kasih yang hadir dalam bentuk yang sangat nyata. Kasih yang berbicara dalam sepotong roti, dalam pelukan hangat, dalam waktu yang diberikan untuk mendengarkan orang yang kesepian.
Bagi Dorothy, menjadi Katolik bukan soal membangun benteng pertahanan yang kokoh, atau menciptakan jarak aman antara diri dan dunia luar. Justru sebaliknya, iman sejati adalah ketika seseorang berani membuka pintu selebar mungkin, menyambut dengan tangan terbuka, hati yang penuh keberanian, dan jiwa yang siap melayani.
Ia tidak takut menghadapi luka dan kotoran dunia. Ia tidak gentar ditolak oleh mereka yang terluka, dan tidak mundur meski berkali-kali harus gagal. Dorothy selalu siap menghadapi kenyataan hidup, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun.
Ada sebuah pertanyaan sederhana yang terus bergaung dalam hidupnya, yang mungkin juga layak kita renungkan: Jika Kristus datang hari ini mengetuk pintumu dalam rupa pecandu yang terasing, imigran yang terlunta, atau perempuan yang dilecehkan, akankah kamu membuka pintu? Dorothy Day tidak hanya bertanya. Ia menjawab pertanyaan itu dengan tindakan. Ia membuka pintu itu setiap hari, tanpa lelah, tanpa syarat.
Setiap pintu yang ia buka adalah doa yang menjadi roti. Roti yang tidak hanya mengenyangkan tubuh, tapi juga memberi makan jiwa yang lapar akan cinta. Iman bagi Dorothy bukanlah sesuatu yang dingin dan jauh, melainkan sebuah tempat berteduh yang hangat. Tempat di mana siapa pun — tanpa melihat latar belakang — bisa merasa aman, diterima, dan dicintai.
Di dunia yang sering menutup mata dan hati terhadap penderitaan orang lain, Dorothy Day menjadi cahaya. Ia hadir untuk mengingatkan bahwa iman dan doa bukanlah sekadar kata-kata atau ritual, melainkan panggilan untuk turun ke jalan, membuka pintu, dan menjadi tangan yang mengulurkan kasih tanpa syarat.
Relevansi yang Tak Pernah Usang
Tidak semua orang mampu melihat keajaiban dan kesucian di sebuah dapur umum. Namun bagi Dorothy Day, di sanalah Kristus hadir — bukan hanya di altar gereja, tapi juga di lantai yang kotor, di samping ranjang orang yang sakit, dan di dalam air mata anak-anak jalanan.
Kepemimpinan Dorothy Day bukan soal kata-kata besar, tetapi tindakan nyata. Ia memimpin misa kehidupan, di mana cinta dibagikan, bukan lewat pidato atau wacana, melainkan lewat tindakan-tindakan nyata yang bisa dirasakan.
Menjadi Katolik, baginya, bukan berarti membangun tembok tinggi yang membuat kita jauh dari dunia. Sebaliknya, menjadi Katolik adalah keberanian membuka pintu selebar mungkin, menyambut siapa saja dengan hati tulus dan penuh kasih. Dorothy tak takut kotor, ditolak, atau gagal. Ia selalu siap menerima siapa pun, terutama mereka yang selama ini terlupakan.
Bayangkan pertanyaan ini: Jika Kristus datang mengetuk pintumu hari ini, dalam rupa orang yang terluka, seorang pecandu yang ingin berubah, seorang pengungsi yang butuh perlindungan — akankah kamu membukakan pintu? Dorothy Day tidak hanya bertanya. Ia menjawabnya setiap hari, tanpa ragu, tanpa lelah.
Setiap pintu yang ia buka menjadi doa yang menjadi roti, memberikan kekuatan dan harapan bagi mereka yang lapar akan kasih. Iman, baginya, bukan sesuatu yang jauh dan kaku, melainkan tempat berteduh yang hangat dan penuh cinta.
Di dunia yang kerap menutup mata pada luka sesama, Dorothy Day hadir sebagai cahaya yang mengingatkan kita bahwa iman sejati bukan sekadar kata-kata. Iman harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Ia mengajarkan, di balik setiap pintu yang terbuka, semangkuk sup hangat, dan pelukan hangat, Kristus hadir. Mengubah dunia sedikit demi sedikit, menjadi ruang yang lebih manusiawi dan penuh kasih.