Raja Ampat selama ini dikenal sebagai permata dunia kelautan. Terumbu karangnya tak hanya indah dipandang, tetapi juga menopang keragaman hayati yang luar biasa, menjadi rumah bagi lebih dari 500 spesies karang dan ribuan spesies ikan. Namun, pesona ini kini berada di ujung tanduk. Sejak 2020, wilayah ini mengalami ekspansi tambang nikel secara signifikan, terutama di pulau-pulau seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Berdasarkan laporan investigatif The Australian (2024), aktivitas pertambangan telah membuka lebih dari 494 hektar lahan baru dalam kurun waktu empat tahun terakhir, dan secara keseluruhan konsesi tambang telah mencapai 22.420 hektar di kawasan Raja Ampat.
Aktivitas ini bukan hanya soal pembukaan lahan. Dampak ekologisnya langsung terasa. Sedimen tambang terbawa hingga ke laut, menyelimuti terumbu karang, dan mengganggu proses fotosintesis alga simbiotik yang menjadi penopang utama kehidupan karang. Timer Manurung dari Auriga Nusantara dalam laporan Associated Press (2024) menegaskan bahwa sedimen tambang telah tampak nyata di garis pantai dan akan terus merusak ekosistem laut selama operasi tambang berlangsung.
Yang membuat situasi ini semakin ironis adalah fakta bahwa Raja Ampat baru saja dikukuhkan sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2023. Status ini seharusnya menjadi penguat perlindungan lingkungan kawasan tersebut. Namun, pemerintah Indonesia, dalam praktiknya, belum menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai zona perlindungan total dari aktivitas ekstraktif. Padahal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Maret 2024 telah mengeluarkan putusan penting yang menyatakan bahwa eksploitasi sumber daya di pulau-pulau kecil, seperti tambang nikel, merupakan aktivitas “berbahaya luar biasa” (abnormally dangerous) dan seharusnya dilarang secara hukum.
Lebih jauh lagi, laporan lapangan yang diterbitkan Forum Jurnalis Merah Putih dan sejumlah LSM lokal (FJMR, 2024) menyebutkan bahwa meski pendapatan masyarakat lokal di sekitar tambang mengalami peningkatan, mereka juga mulai menghadapi erosi tanah, kerusakan mangrove, sedimentasi, serta pencemaran air laut. Di sisi lain, para nelayan tradisional melaporkan menurunnya hasil tangkapan dan perubahan kualitas air laut yang makin keruh. Asosiasi Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Raja Ampat juga menyuarakan kekhawatiran bahwa kerusakan lingkungan ini akan menggerus potensi pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal (The Jakarta Post, 2024).
Situasi ini menggambarkan dilema klasik pembangunan: antara janji pertumbuhan ekonomi dan kehancuran ekologis yang sulit dipulihkan. Literatur ilmiah internasional menguatkan kekhawatiran ini. Menurut Wikipedia Mining Environmental Impact (2025), kegiatan pertambangan—terutama metode tambang terbuka—dapat menyebabkan degradasi tanah, deforestasi, kontaminasi air tanah dan laut, serta kepunahan spesies lokal. Jika kita menengok ke wilayah lain, seperti Morowali di Sulawesi Tengah atau Weda Bay di Halmahera, kita melihat pola serupa: tambang nikel datang membawa investasi, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan lingkungan jangka panjang.
Melihat semua ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah benar kita harus mengorbankan Raja Ampat demi nikel yang sebagian besar diekspor untuk memenuhi kebutuhan industri kendaraan listrik dunia? Atau bisakah Indonesia memilih jalan lain—memaksimalkan nilai konservasi dan ekowisata yang berkelanjutan, seraya menjaga martabat ekologis negeri ini di mata dunia?
Karena sekali surga itu rusak, tak akan ada tambang yang mampu membelinya kembali.
Ruang Kontemplasi
Dari sudut pandang spiritualitas Ignasian, situasi ini mengundang kita untuk bertanya lebih dalam: di mana Allah hadir dalam realitas ini? Dalam Latihan Rohani, Santo Ignatius mengajak kita untuk menemukan Allah dalam segala hal—termasuk dalam pergulatan ekologis dan politik. Apa yang terjadi di Raja Ampat bukan hanya soal ekonomi atau lingkungan, tetapi soal relasi manusia dengan ciptaan.
Seperti kata Uskup Timika Monsinyur Bernardus Bofitwos Baru OSA, mereka yang berjuang mempertahankan alam, budaya, dan yang bersuara keras menentang perusakan, itulah yang dikuasai Roh Kudus, Roh Allah sendiri. Sementara yang merusaknya dikuasai roh jahat. Demikian kritik ini disampaikan uskup saat memberi khotbah hari Minggu Pentakosta, pada 8 Juni 2025, di Gereja Katedral Tiga Raja, Timika, Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Prinsip utama dalam spiritualitas Ignasian adalah “magis”, yaitu mencari yang lebih besar demi kemuliaan Tuhan (Ad Maiorem Dei Gloriam). Dalam konteks ini, “yang lebih besar” bukanlah keuntungan ekonomi jangka pendek, melainkan keberanian untuk memelihara rumah bersama (Laudato Si’, 2015). Kita diajak untuk melakukan discernment (kebijaksanaan rohani) secara kolektif: apakah tindakan kita sungguh mencerminkan kasih, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap sesama makhluk ciptaan?
Ignatius juga menekankan pentingnya “indiferensi rohani”—tidak melekat pada keuntungan, kuasa, atau keamanan, tetapi terbuka pada kehendak Allah yang menghidupkan. Maka, kita mesti bertanya: apakah eksploitasi nikel ini sungguh mencerminkan nilai-nilai Kerajaan Allah, ataukah justru bentuk baru kerakusan global yang membungkus dirinya dengan janji teknologi hijau?
Raja Ampat adalah ruang kontemplasi yang hidup: langitnya, lautnya, dan hutan-hutannya memuliakan Pencipta. Jika manusia melukai tempat ini, itu bukan hanya soal kehilangan lingkungan, tetapi juga kehilangan kemungkinan untuk mengalami kehadiran ilahi dalam keheningan dan keindahan ciptaan.
Refleksi ini mengajak kita untuk melihat bukan hanya apa yang mungkin dilakukan, tetapi apa yang harus dilakukan demi kebaikan yang lebih besar. Dalam terang itu, menyelamatkan Raja Ampat bukan sekadar aksi ekologis, melainkan bentuk spiritualitas yang berpihak pada kehidupan.
Referensi:
The Australian. (2024). Indonesia urged to protect famed Raja Ampat as nickel miners move in.
Associated Press. (2024). Nickel mining threatens coral-rich marine zone of Raja Ampat.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2024). Putusan Perlindungan Pulau Kecil dari Aktivitas Ekstraktif.
Forum Jurnalis Merah Putih. (2024). Laporan Dampak Sosial dan Ekologis Tambang Nikel di Gag Island.
The Jakarta Post. (2024). PHRI warns of tourism loss due to nickel mining pollution.
Wikipedia. (2025). Mining and Its Environmental Impact.
Paus Fransiskus. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home.
Ignatius of Loyola. (1548). Exercitia Spiritualia (Latihan Rohani).