Di tengah dunia yang terus bergerak cepat dan kerap kehilangan arah moral, kita menyaksikan banyak pemimpin lebih sibuk merawat citra dan mengejar kekuasaan daripada sungguh-sungguh hadir bagi orang-orang yang mereka pimpin. Entah dalam dunia politik, organisasi sosial, bahkan dalam keluarga, krisis kepemimpinan begitu nyata. Pelayanan tulus dan keteladanan seakan menjadi barang langka. Dalam suasana semacam itu, hadir seorang pemimpin yang menempuh jalan berbeda — Paus Fransiskus. Ia bukan tipe pemimpin yang memerintah dari singgasana megah, melainkan seorang gembala yang turun ke jalanan, merangkul yang tersisih, dan tinggal di antara mereka yang terluka.
Nama kecilnya Jorge Mario Bergoglio. Ia lahir di Buenos Aires, Argentina, dari keluarga sederhana kelas menengah. Sejak muda, ia terbiasa hidup bersahaja dan akrab dengan orang-orang yang berada di pinggir kehidupan. Latar belakang ini membentuk karakter kepemimpinannya. Ketika terpilih menjadi Paus pada 13 Maret 2013, ia langsung menunjukkan bahwa Gereja harus kembali ke akarnya — sebuah komunitas yang hadir untuk kaum kecil.
Hal pertama yang ia lakukan adalah menolak tinggal di Istana Kepausan. Ia memilih menetap di rumah tamu Vatikan, Domus Sanctae Marthae, tempat yang lebih sederhana dan membumi. Ia juga mengganti mobil mewahnya dengan mobil kecil yang biasa dipakai di jalanan Roma. Pilihannya bukan demi pencitraan. Semua itu lahir dari keyakinan: bahwa pemimpin harus dekat dengan umat, berjalan bersama mereka, dan berbagi rasa dalam derita maupun sukacita.
Gaya Kepemimpinan yang Berjalan Bersama Umat
Lebih dari sekadar simbol, kepemimpinan Paus Fransiskus nyata dalam tindakan. Ia tidak segan mengunjungi kamp pengungsi, masuk ke penjara, menyambangi rumah sakit, dan menyapa masyarakat miskin. Salah satu gestur yang paling diingat dunia adalah ketika ia mencuci kaki para tahanan — laki-laki dan perempuan, Kristen maupun non-Kristen. Lewat tindakan itu, ia ingin menyampaikan pesan yang kuat: bahwa pemimpin harus siap merendahkan diri dan melayani, bukan sekadar memberi perintah dari kejauhan.
Pernyataannya yang terkenal bahwa para pemimpin Gereja harus “berbau seperti domba” bukanlah sekadar metafora. Maksudnya jelas: pemimpin harus berada di antara umat, merasakan apa yang mereka rasakan, mengetahui luka dan harapan mereka, dan tak takut berkotor-kotor demi mereka. Bagi Paus Fransiskus, Gereja bukan museum bagi orang suci, melainkan rumah sakit di medan perang — tempat orang terluka datang untuk disembuhkan.
Nilai-Nilai Dasar Kepemimpinan Paus Fransiskus
Sejak awal, Paus Fransiskus menetapkan semboyan kepausannya: Miserando atque eligendo — “Ia mengasihi dengan belas kasih dan memilih.” Kata-kata ini diambil dari kisah pemanggilan Matius sang pemungut cukai dalam Injil. Bagi Fransiskus, inti kepemimpinan adalah belas kasih. Tuhan memilih bukan karena kita sempurna, tetapi karena Ia lebih dahulu mengasihi kita.
Kepemimpinan Fransiskus juga berakar kuat pada spiritualitas Ignasian yang mengajarkan discernment (kepekaan rohani), kehadiran nyata di tengah penderitaan umat, dan keberanian membaca tanda-tanda zaman. Di saat dunia mengejar gelar, jabatan, dan kekuasaan, ia mengajarkan kekuatan dalam kerendahan hati. Kesederhanaan, baginya, bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral. Pemimpin yang hidup sederhana akan lebih jujur, transparan, dan mampu merasakan derita sesamanya.
Selain itu, ia senantiasa berpihak kepada mereka yang terpinggirkan: kaum miskin, pengungsi, korban ketidakadilan, serta mereka yang dianggap tak penting oleh sistem sosial dan ekonomi dunia. Ia menekankan pentingnya dialog lintas agama, perdamaian antarbangsa, dan keadilan sosial.
Kebijakan dan Langkah Konkrit
Selama menjadi Paus, Fransiskus tak hanya berbicara soal belas kasih, tetapi menerjemahkannya dalam berbagai kebijakan nyata:
- Reformasi Kuria Roma, badan administrasi pusat Gereja Katolik, ia lakukan agar lebih sederhana, transparan, dan melibatkan para kardinal dari berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara miskin.
- Dokumen “Evangelii Gaudium” (Sukacita Injil) menjadi manifestonya untuk Gereja masa kini. Di dalamnya, Fransiskus mengajak Gereja keluar dari kenyamanan diri dan hadir di pinggir jalan, di antara mereka yang terluka dan terabaikan.
- Ensiklik “Laudato Si’” adalah seruan mendesak bagi dunia untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama. Ia mengingatkan bahwa krisis lingkungan terutama menghantam mereka yang paling miskin.
- Tahun Yubileum Belas Kasih yang ia tetapkan pada 2016 mengajak seluruh Gereja dan umat Katolik hidup dalam semangat pengampunan, solidaritas, dan pelayanan terhadap sesama.
- Dukungan terhadap pengungsi dan migran menjadi salah satu fokus utama kepausannya. Ia tak ragu mengecam keras kebijakan negara-negara kaya yang menutup pintu bagi mereka yang melarikan diri dari perang, bencana, dan kelaparan.
Di tengah dunia yang dilanda krisis kemanusiaan, sosial, dan moral, kepemimpinan Paus Fransiskus menjadi cermin dan undangan. Ia menunjukkan bahwa pemimpin tidak mesti selalu tampil gagah, apalagi berlindung di balik tembok kekuasaan. Dunia butuh pemimpin yang mau mendengarkan, yang tidak takut berkotor tangan, dan yang rela berjalan di jalanan berlumpur kehidupan demi menyapa mereka yang terpinggirkan.
Kepemimpinan yang Relevan di Zaman Krisis
Fransiskus mengajarkan bahwa keberpihakan kepada kaum kecil bukan sekadar ideologi, melainkan bagian dari Injil. Bahwa mendengarkan umat jauh lebih penting ketimbang memberi perintah. Bahwa kerendahan hati adalah kekuatan revolusioner yang bisa mengubah wajah dunia.
Pelajaran bagi Para Pemimpin Masa Kini
Dari Paus Fransiskus, kita belajar bahwa:
- Kepemimpinan bukan soal mengontrol orang, tapi tentang memberdayakan.
- Kerendahan hati bukan kelemahan, melainkan tanda keberanian moral.
- Keberpihakan pada yang lemah bukan sekadar agenda sosial, tapi panggilan iman.
- Pemimpin sejati lebih banyak mendengarkan daripada memerintah.
Di tengah situasi global yang penuh luka ini, dunia amat merindukan tipe pemimpin semacam itu. Seorang pemimpin yang berjalan bersama umat, yang mau merasakan penderitaan rakyatnya, dan yang tak takut kehilangan posisi demi membela kemanusiaan.
Paus Fransiskus telah membuktikan bahwa kepemimpinan sejati tak lahir dari singgasana atau istana megah, tetapi tumbuh dari jalanan berdebu, dari pelukan bagi mereka yang dilupakan, dan dari keyakinan bahwa yang kecil, yang lemah, yang tak terdengar suaranya — justru adalah saudara-saudara yang paling layak mendapatkan perhatian.
Dan mungkin, itulah warisan kepemimpinan terbesar Paus Fransiskus bagi dunia kita hari ini.
Referensi:
- Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium (2013).
- Paus Fransiskus. Laudato Si’ (2015).
- Antonio Spadaro. Pope Francis: Mission and Vision (2016).
- Postinus Gulo. Karakter Kepemimpinan Kristiani (2008).
- Anderson, L., & Kefas, T. K. Karakter Pemimpin Kristen yang Ideal Menurut 1 Timotius 4:12 (2024).