27 Juni 2025, Perayaan Hati Yesus yang Mahakudus
Bacaan: Yeh 34:11-16; Rm 5:5b-11; Luk 15:3-7
Hati yang Menyimpan Luka Dunia
Di tengah dunia yang kian bising oleh perpecahan, polarisasi sosial, populisme agresif, kemiskinan yang diabaikan, dan relasi yang hancur oleh narsisisme digital, Gereja mengajak kita kembali menatap Hati Yesus yang Mahakudus. Bukan sekadar simbol sentimental, melainkan sebuah undangan untuk memandang hati Allah yang luka, hati yang pecah karena cinta, hati yang bersedia menanggung kehancuran manusia, demi menyelamatkan yang hilang.
Nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama (Yeh 34:11-16) berbicara atas nama Allah tentang domba yang tercerai-berai, diserahkan begitu saja oleh gembala-gembala yang seharusnya menjaga. Teks ini lahir dalam konteks Israel yang terbuang dan ditelantarkan secara politis dan rohaniah. Yehuda Kolni (2020) dalam “The Shepherd Motif in Ancient Israel” mencatat bahwa metafora gembala dalam budaya Timur adalah cerminan tanggung jawab total, bukan sekadar penyedia makanan, tetapi pelindung kehidupan. Allah berjanji, “Aku sendiri akan menggembalakan domba-dombaku dan Aku akan membiarkan mereka berbaring.” Di sinilah Hati Allah yang Mahakudus pertama-tama menampakkan diri: hati yang tidak membiarkan manusia hilang dalam kegelapan.
Rom 5:5b-11 lalu membawa kita lebih dalam: kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus. Santo Paulus dengan tegas menyatakan bahwa Kristus wafat bukan bagi orang saleh, tetapi bagi kita yang berdosa. Kasih ini bukan transaksi. Kasih ini melampaui logika timbal-balik. Seperti ditulis Scott Hahn dalam “Romans: Catholic Commentary on Sacred Scripture” (2017), bagian ini mengandung kristologi salib yang radikal: Allah menunjukkan cinta-Nya saat kita berada dalam kondisi terburuk. Hati Yesus yang Mahakudus adalah hati yang tidak menunggu manusia menjadi baik untuk dicintai, melainkan mencintai manusia agar ia bertobat.
Lukas 15:3-7, perumpamaan tentang domba yang hilang, adalah gambar puncak hati itu. Seorang gembala meninggalkan 99 ekor demi satu yang hilang. Dalam tafsirnya, Joseph Fitzmyer (“The Gospel According to Luke”, 1985) menekankan bahwa perumpamaan ini tidak hanya menggambarkan kerahiman Allah, tetapi juga mengkritik logika sosial yang menghargai massa dan mengabaikan individu. Di mata Allah, satu yang tersesat memiliki nilai tak terukur.
Mengoyak Keangkuhan Religius dan Sosial Kita
Perayaan Hati Yesus Mahakudus bukan sekadar devosi privat, tetapi pernyataan politis-rohaniah terhadap dunia yang tidak lagi punya hati. Di era algoritma media sosial, di mana manusia menjadi angka, suara, dan opini pasar, Hati Yesus menegaskan: tidak ada satu pun yang boleh hilang.
Fenomena polarisasi politik yang kian vulgar, ketidakpedulian terhadap kaum miskin dan migran, serta kecenderungan Gereja sendiri untuk nyaman dengan yang serupa dan menyingkirkan yang berbeda — semuanya dikoyak oleh Hati Mahakudus yang berseru: “Aku mencari yang tersesat!”
Dalam “The Sacred Heart and Modernity” (2021), teolog Thomas J. Scirghi SJ menulis bahwa devosi kepada Hati Yesus adalah bentuk radikal dari kritik sosial. Hati Allah menolak sistem yang membiarkan manusia binasa dalam struktur yang menindas. Ia mengajak Gereja tidak cukup nyaman dengan ritus tanpa karya kasih, atau doa tanpa advokasi.
Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) pun menegaskan bahwa Gereja harus keluar, mencari yang terluka di pinggir jalan sejarah, bukan sibuk mengelola kenyamanan mereka yang mapan. Hati Yesus Mahakudus adalah hati yang terus-menerus berdarah menyaksikan dunia di mana ketidakadilan disahkan, kebenaran diperdagangkan, dan belas kasih dianggap kelemahan.
Darah dan Air: Makna bagi Kita Sekarang
Kita hidup di masa di mana orang berlomba menyelamatkan reputasi, mengamankan posisi, dan menutup luka-luka pribadi dengan citra digital. Tapi Hati Yesus Mahakudus mengajarkan: luka tidak disembuhkan dengan disembunyikan, melainkan dengan dibagikan. Luka menjadi jalan masuk rahmat.
St. Bernardus dari Clairvaux menulis dalam Sermons on the Song of Songs (12th c.): “Hati yang terluka itulah yang bisa benar-benar mencintai.” Hati Kristus yang tertikam melahirkan Gereja. Luka-Nya bukan aib, tetapi sumber air hidup. Maka, bila Gereja ingin kembali relevan, bila kita ingin kembali menjadi manusia di dunia yang kehilangan rasa, kita harus berani memegang luka, bukan menutupinya.
Point of View yang Menggugat
Hari ini, siapa domba yang hilang itu? Mungkin bukan orang di luar sana, tetapi kita yang sibuk menjaga moralitas agama sambil diam melihat kemiskinan struktural. Kita yang memuja devosi tanpa keberanian bersuara bagi mereka yang dipinggirkan. Kita yang berdoa di hadapan gambar Hati Yesus, tapi membiarkan orang lain terkapar dalam kemiskinan, fitnah, dan stigma.
Hati Yesus Mahakudus hari ini memanggil bukan untuk kenyamanan religius, melainkan untuk radikalitas kasih. Ia menuntut kita meninggalkan 99 (domba) yang nyaman, demi satu yang tak diperhitungkan sistem. Bukan sekadar wacana belas kasih, tetapi keputusan konkret di lapangan: siapa yang kita bela, siapa yang kita tolong, siapa yang kita beri ruang dalam hidup kita.
Hati Mahakudus Yesus bukan monumen nostalgia. Ia adalah agenda profetik hari ini.
đź“– Referensi :
- Fitzmyer, Joseph A. The Gospel According to Luke (X-XXIV). Anchor Bible Commentary. New York: Doubleday, 1985.
- Hahn, Scott. Romans: Catholic Commentary on Sacred Scripture. Grand Rapids: Baker Academic, 2017.
- Scirghi, Thomas J. The Sacred Heart and Modernity: A Theological Reflection. New York: Paulist Press, 2021.
- Kolni, Yehuda. The Shepherd Motif in Ancient Israel: Theology and Politics. Oxford: Oxford University Press, 2020.
- Paus Fransiskus. Evangelii Gaudium (The Joy of the Gospel). Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2013.
- St. Bernard of Clairvaux. Sermons on the Song of Songs. Cistercian Publications, 1981.