Kita pernah mendengar cerita mengenai sekelompok tentara yang berperang, antara A dan B. Pasukan A berdoa agar mereka menang.
Di sisi lain, pasukan B juga berdoa hal yang sama. Lalu, diceritakan bahwa Tuhan bingung dan hanya menonton. Teman-teman, cerita semacam hingga kini terus ada dengan ragam variasinya. Dan sampai saat ini pun banyak yang masih bingung sebenarnya posisi Tuhan ada di mana.
Dalam proses refleksi yang panjang, saya mendapatkan semacam pemahaman yang bisa kita baca pada bacaan Injil hari ini, Matius 5:43-48. Di ayat 45, Tuhan Yesus bersabda, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Pemahaman itu mengatakan demikian, bahwa Tuhan tentu saja mencintai semua orang, mencintai kedua belah pihak yang berseteru dan berperang. Itu karena mereka atau kita semua adalah anak-anakNya, juga ciptaanNya yang mulia. Dia tidak ingin manusia binasa karena dosa dan berbagai pelanggaran yang dilakukan manusia.
Kalau kita mengatakan bahwa ada orang lain yang kita sebut musuh, maka kata musuh itu tidak ada dalam kamus Tuhan saat Dia melihat seluruh umat manusia. Kata musuh hanyalah milik manusia yang egois, serakah, mau menang sendiri. Maka, Tuhan juga mengatakan demikian,”Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain?”
Memang, ini bukan persoalan mudah. Bahkan meskipun yang menyakiti kita itu adalah istri atau suami atau saudara-saudara kita sendiri, kita akan marah. Balas membalas dalam menyakiti seperti sebuah rantai yang tidak pernah ada ujungnya. Dan ini terjadi terus dalam sejarah umat manusia sejak Adam dan Hawa.
Teman-teman, hari-hari ini bagi sebagian orang dan mungkin banyak orang bukanlah hari yang membahagiakan. Selain karena melambungnya harga beras, pemilu yang sudah lewat, tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tidak tampak jujur dan adil. Pergolakan dan upaya penolakan hasilnya meski hari ini belum selesai, terjadi dimana-mana.
Ada banyak yang sedih dan marah. Saya pun demikian. Beberapa kali saya merasakan kepedihan yang amat dalam, juga marah yang luar biasa. Bukan karena saya membela salah satu paslon dan terlihat seperti kalah. Saya sedih dan marah karena melihat seluruh proses memang tampak tidak baik-baik saja. Dan bila dibanding dengan pemilu-pemilu sebelumnya, situasi saat ini terasa lebih parah buruknya. Mungkin ada yang tidak setuju dengan saya dan mengganggap semua baik-baik saja. Silakan saja.
Dalam situasi itu saya juga berjuang untuk bisa memaafkan. Jelas tidak mudah. Maka saya katakan bahwa saya “berjuang” untuk tidak marah dan memaafkan situasi. Pertama-tama yang masuk dalam kesadaran saya adalah bahwa memaafkan tidak melepaskan seseorang yang berbuat salah dari jerat hukum dan pengadilan. Kemudian, kesadaran lain muncul bahwa memaafkan sebenarnya lebih bermanfaat bagi diri sendiri. Dan setelah saat ini saya sudah mulai bisa memaafkan, saya merasakan betul bahwa tindakan ini menjadikan diri saya berada dalam posisi yang lebih stabil, seimbang. Marah, sedih, kecewa membuat jiwa kita goyang dan goyah, serta mudah jatuh. Saya pernah jatuh sakit karena mengikuti betul gejolak pemilu lima tahun lalu.
Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah, proses memaafkan bukanlah proses yang sekali jadi lalu selesai. Berulang kali kemarahan muncul, berulang kali pula saya berjuang agar saya bisa memaafkan. Saya pikir, saya tidak boleh kalah. Saya harus berjuang menaklukkan diri sendiri.
Namun, saat ada kesadaran baru muncul, saya menemukan bahwa sebenarnya proses memaafkan itu bukanlah proses menaklukkan diri. Ini adalah proses dimana kita sedang berusaha mengisi hati kita dengan cinta. Saya katakan mengisi dengan cinta karena dalam proses itu saya berdoa pada Yesus agar Dia menambahkan energi cintaNya pada saya. Hanya Dialah yang bisa memberi rahmat itu. Kan Dia pernah bilang, “Datanglah padaKu kalian semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan padamu.”
Nah, pada tahap ini juga, saya sadari bahwa kita sedang berusaha meningkatkan derajat roh dan kualitas kita sebagai manusia, dan sebagai anak-anak Allah. Maka marilah teman-teman, kita mohon rahmat terus-menerus agar senantiasa bisa memaafkan siapa pun yang selalu menyakiti kita tujuh puluh kali tujuh kali. Tuhan memberkati. Amin