Malam itu, dua puluh tahun lalu, saya pulang dari kantor mengendarai motor. Seorang teman membonceng. Saya pulang ke Depok, teman saya pulang ke Bogor. Dia ingin diturunkan di Lenteng Agung, karena dari situ ada kendaraan yang biasa membawa penumpang ke Bogor.
Dalam perjalanan, teman saya ini sebut saja Ge, bercerita bahwa dia habis bertengkar dengan temen sebelahnya, yang juga teman saya. Tidak perlu saya ceritakan dia marah tentang apa. Namun hawa marah itu terus menyala sepanjang jalan. Saya saat itu, dalam kondisi netral, tidak merasakan marah atau apa pun. Sebenarnya saya kasihan pada mereka berdua. Ge dan temannya, dua-duanya adalah teman saya sekantor. Namun mereka tidak pernah akur sampai akhirnya Her, sebut saja teman yang bermusuhan dengan Ge ini mengundurkan diri atau tidak lagi bekerja di kantor tempat saya bekerja waktu itu.
Kembali ke cerita sebelumnya. Saat itu, saya sudah sampai rumah. Dan aneh bin ajaib. Di rumah, saya yang tadinya biasa saja, pas ketemu istri tiba-tiba marah. Saya lupa persisnya bagaimana saya marah dan tentang apa. Namun, saya ingat beberapa menit kemudian setelah marah, saya sadar bahwa saya terkena radiasi kemarahan Ge saat dalam perjalanan pulang.
Teman-teman, kejadian yang serupa sering saya alami. Saya sering tiba-tiba sedih, jengkel, atau marah seperti cerita tadi gara-gara saya bertemu seseorang, atau sehabis menempati tempat duduk seseorang atau mungkin berada di mobil atau tempat tertentu dan itu habis dipakai orang yang mengalami emosi sedih, jengkel atau marah itu. Dulu saya sering tidak tahu kenapa saya tiba-tiba merasa seperti itu. Setelah kejadian dengan Ge, saya baru sadar bahwa saya sensitif. Bisa merasai emosi seseorang. Bahkan ketika seseorang berada di belakang saya dan saya sedang ngobrol dengan orang lain misalnya, saya bisa tahu dia sedang mengalami emosi seperti apa.
Tentu kondisi ini membuat saya mesti hati-hati. Saya harus bisa menjaga jarak, melindungi diri agar tidak mudah tercemari. Namun, yang paling penting dari cerita ini adalah bahwa energi yang memancar dari seseorang, dari kita sendiri bisa memengaruhi orang lain. Energi kita bisa membuat orang lain ikut merasakan getaran atau vibrasinya. Maka, bacaan hari ini, Yohanes 12:44-50, jelas sekali bisa kita pahami mengapa Yesus mengatakan,”Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepadaKu, jangan tinggal di dalam kegelapan.”
Kita juga diharapkan menjadi terang bagi orang-orang di sekitar kita, bagi dunia ini. Injil Matius 5:13-16 jelas menyebutkan hal itu.”Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”
Pancaran energi, aura kita tidak hanya bisa dirasakan oleh sesama manusia. Tanaman, juga hewan bisa merasakannya. Suatu sore di tahun 1998-1999, saya datang ke salah satu komunitas frateran Serikat Yesus di Johar, Jakarta Pusat. Di situ ada banyak anjing, sekitar 5 anjing dipelihara. Saya yang sebelumnya tidak pernah digongonggi atau dijauhi oleh anjing-anjing itu, saat itu digonggonggi oleh mereka. Mereka seperti marah dan benar-benar tidak ramah. Saya baru menyadari setelah pergi dari Johar menuju komunitas saya di Kramat 7, Jakarta Pusat. Saat itu, saya baru saja menyembelih salah satu teman mereka. Rupanya aura pembunuh itu dirasakan oleh para anjing itu. Binatang lebih sensitif dibanding manusia. Sementara manusia yang punya sensitivitas tinggi biasanya para bayi (balita) atau anak-anak. Ada banyak contoh pengalaman seperti ini.
Pada prinsipnya, saya menyadari bahwa kita hidup di dunia ini saling memengaruhi. Kalau kita datang mengunjungi seorang teman yang sedang sakit parah di sebuah rumah sakit, saat kita datang mungkin badan kita segar bugar. Namun, saat pulang, bisa jadi kita merasakan kelelahan yang luar biasa. Itu terjadi karena teman kita yang sakit telah menguras energi kita. Bahkan saat kita berdebat atau berdiskusi pun, pertukaran energi itu terjadi antara kita yang melakukan kegiatan itu.
Ketika kita berada jauh dari seseorang pun. Bisa jadi dia sedang sakit, mungkin juga sedang sedih, kecewa atau mengalami kegalauan, dan macam-macam perasaan buruk lain dan kita mendoakan teman atau saudara kita itu, energi kita bakal mengalir ke dia. Maka, kemudian dengan kesadaran ini kita mesti paham energi atau aura seperti apa yang sebaiknya kita pancarkan. Tentu saja seperti Tuhan Yesus, kita diminta untuk memancarkan energi kasih, energi yang bisa menerangi kepada semua yang kita temui, mereka yang masuk dalam pikiran kita, dan mereka yang kita doakan. energi yang memberi harapan, kegembiraan, dan suka cita.
Jadi, teman-teman. Kita semua adalah alat pemancar Tuhan yang semestinya memancarkan terang dan kebaikan kepada dunia ini. Jagalah agar pemancar itu tidak redup, tidak menyilaukan, tidak membuat gelisah, galau, kisruh bagi siapa pun yang ada di sekitar pemancar. Jangan pula kita khawatir akan kehabisan energi, kehabisan cahaya. Karena Tuhan Yesus sendiri yang akan mengalirkan energiNya untuk kita. Terus-menerus seperti air sungai yang mengalir tiada henti. Semoga kita semua dianugerahi hati yang tulus dan murni. Tuhan memberkati. Amin