Sudah seminggu sejak kunjungan apostolik Paus ke Jakarta usai, orang-orang di sekitar saya masih belum juga ‘move on’ dari membicarakan setiap kronik dan pernik sekitar perjumpaan Paus dengan umat dan masyarakat Indonesia. Ya, begitu kuat impresi yang ditinggalkan sampai frekuensinya terasa hingga di rumah, di kantor, di jalan, orang masih sedikit-sedikit membahasnya di sela-sela kesibukan. Sesepele menjadi bahan ngobrol, seperti: ‘Itu lagu yang biasa dipakai untuk ilustrasi video Paus, apa ya? Nadanya bagus sekali.” Seorang teman bergumam.
Di rumah, istri dan saya terpicu untuk menonton kembali film ‘The Two Popes’ untuk yang ke sekian kali, sekedar untuk semakin memahami sosok Bergoglio, Paus Fransiskus muda, beserta seluruh perjalanan menuju kekayaan pengalaman dan visi rohaninya. Dahsyat sekali dampaknya. Istri semakin sering berdoa dan merenungkan perikop kitab suci sebelum tidur. Lebih reflektif dan meditatif dalam pergaulannya dengan sesama ibu-ibu rumpi.
Saya? Saya melanjutkan dengan menggali ke dalam kekayaan rohani pribadi yang sentral menginspirasi Paus sebagai Yesuit, Santo Ignasius dari Loyola, dengan menyusuri jejak virtual Sang Peziarah, Pilgrim’s Journey dengan 12 perhentian dari Arevalo di Spanyol menuju Roma di Italia.
Salah satu perhentian yang mengesan bagi saya adalah Lady of Arantzazu. Konon, penamaan Arantzazu berasal dari seruan gembala yang melihat penampakan Bunda Maria beserta kanak-kanak Yesus di tengah-tengah semak penuh duri. Arantza…zu, yang berarti ‘Di tengah semak berduri, itu Kamu?’ Bagi Ignasius, tempat ziarah Aranzazu sangat istimewa karena di sanalah ia mengalami pencerahan yang menjadi bekal peziarahannya dari ksatria di bawah panji raja, menjadi pecinta ulung di bawah Sang Raja Abadi.
Tuhan bisa hadir di tengah semak berduri, di lingkungan yang toksik dan tak bersahabat. Mengapa tidak? Di kantor pun memang jarang harap bicara mengenai Tuhan. Adanya pembicaraan mengenai frekuensi. Nah, bicara tentang frekuensi, kita merasakan sendiri frekuensi daya dan energi yang ditinggalkan dari kunjungan Paus yang bertalu-talu menggema di hati kita, menggaungkan pesan iman, persaudaraan, dan bela rasa, faith, fraternity, and compassion.
Apa yang akan terjadi jika setiap dari kita terus tinggal dalam frekuensi itu? Barangkali kita pun menjadi penghantar frekuensi Tuhan ke pribadi-pribadi di lingkungan sekitar kita, dan pribadi-pribadi itu pun diubah menjadi penghantar-penghantar lain frekuensi Tuhan.
Di zona frekuensi Tuhan ini, barangkali kita secara tipis-tipis bisa menghadirkan apa yang kita daraskan dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita: Datanglah kerajaanMu di atas bumi, seperti di dalam surga.
semoga semakin banyak frekuensi yg terconnect dgn Tuhan.. amin
semoga bapa Paus Fransiskus memberi solusi kepada orang- orang yg membuat surat kepada beliau seperti yg ada di majalah utusan klo tidak salah ada 25 srt yg terpilih dari 585 surat terima kasih