Kebanyakan orang akan bertanya ngapain sih naik gunung? Kan capai, ribet, dan sebagainya. Tujuannya apa sih naik gunung? Lihat sunrise? Lihat awan? Foto-foto di atas gunung? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak salah. Faktanya, naik gunung itu memang melelahkan dan berat. Namun, setelah beberapa kali naik gunung, setidaknya empat kali, ada banyak nilai penting bagi hidup yang bisa kita gali. Apa saja?
- Tekad atau Kehendak yang kuat
Bayangkan, jam 01.00 Wib disaat semua orang sedang nyaman-nyamannya tidur, saya harus bangun dan bersiap mendaki. Berkumpul di teras Wisma Sinewente-Bandungan, tempat kami menginap. Udara dingin menusuk sampai tulang. Jika saya tak punya tekad kuat, tentu saya urungkan niat untuk mendaki.
Demikian pula saat mendaki. Proses yang menurut saya panjang karena butuh waktu setidaknya 5-6 jam untuk pemula dengan tanjakan dan turunan yang luar biasa melelahkan, bakal membuat ciut nyali. Kehendak kuat menjadi modal penting bagi perjalanan ini. Tekad, kehendak kuat menjadi modal bagi perjalanan panjang dan melelahkan menuju puncak.
- Setia kawan dan peduli sesama
Saya dan rombongan berjumlah 15 orang yang naik Gunung Ungaran, berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Usia dan kekuatan fisik pun berbeda-beda. Anggota
paling muda 8 tahun dan yang paling tua 61 tahun.
Bagi mereka yg memiliki fisik kuat dan terbiasa, tentu mendaki bisa jadi berjalan tanpa kendala. Tetapi bagi beberapa teman termasuk saya yang jalannya tertatih-tatih. Bahkan sempat kram kaki, badan tidak lincah, gampang elah, masih ditambah sepatu jebol, itu jadi problem.
Bagi mereka yang kuat pun, kelelahan juga bakal dialami. Justru di saat sama-sama Lelah inilah, akan kelihatan siapa yang setia kawan dan siapa yang egonya tinggi. Saya takjub, ada teman yang peduli ketika kaki temannya kram. Dia/ mereka rela berhenti sejenak menemani kawan yang kelelahan itu. Bahkan mau memijati kaki si kawan yang kram ini.
Semangat setia, peduli juga melahirkan semangat mau berkorban bagi orang lain. Saya bersyukur ada teman-teman sesawi yang bersama saya dan memiliki semangat-semangat ini.
- Sarana mengenali karakter diri dan orang lain
Jadi, melanjutkan yang poin kedua, akhirny saya bisa mengenali karakter diri saya, juga teman-teman yang bersama saya. Ada yang ;
- Si paling ingin duluan sampai puncak
- Si paling provokator – penyemangat
- Si paling care/peduli
- Si paling drama – suka ngeluh gak kuat, tapi sampai juga ke puncak 😅
Coba cek sendiri kamu termasuk yang mana?
- Pantang menyerah
Setelah melewati 4 pos, kurang lebih 3 jam berjalan. Telapak kaki kananku mulai sakit. Karena sebelumnya kaki kananku terindikasi plantar pasitis, jadi ketika dipakai jalan lama, maka langsung kambuh. Rasanya tak mampu lagi untuk digerakkan, apalagi melangkah.
Mental, otak dan fisik tak lagi sinkron. Otak menyarankan berhenti karena kaki sudah sakit sekali. Peluh bercucuran, meski udara amat dingin. Mental seketika jatuh. Yang tersisa hanya kata menyerah.
Tapi dalam hati aku nggak mau menyerah, masih ingin terus sampai puncak. Bahkan berkali-kali ketika suamiku menawarkan diri membawakan tas ranselku, aku sering tolak. Aku mau sampai puncak, harus sampai. Tekad kuat yang sudah masuk poin satu tadi rupanya mesti ditambah semangat pantang menyerah. Dan aku akhirnya berhasil sampai puncak Botak (ketinggian 2050 MDPL).
Aku rasa, semangat ini bukan dari saya sendiri, ini rahmat Tuhan yang sudah ditanam dalam diriku. Tuhan yang selalu hadir dan Tuhan yang kutemui dalam pendakian ini.
- Rendah hati
Di saat aku ingin menyerah itu, akhirnya kuterima tawaran, suamiku, Mas Abdi. Tas ransel aku berikan ke dia. Beban pun berkurang, aku bisa melanjutkan perjalanan menuju pos 5 – Tikungan Cinta dengan lebih ringan meski sambil menahan rasa sakit.
Aku sadar, sering dalam hidup aku mengerjakan tugas dan maunya menyelesaikan semua sendiri, tidak merepotkan orang lain. Memang bagus semangat tidak merepotkan orang lain itu. Tapi ada satu hal yang kulupa. Aku terlalu percaya diri, terlalu mengandalkan diri, merasa kuat, merasa segalanya bisa ditangani sendiri. Rada sombong.
Bahayanya kalau dalam hidup sehari-hari, aku tidak pernah mau mengandalkan Tuhan, padahal sebenarnya butuh. Maka, kerendahan hati menjadi hal penting. Dalam ini aku juga belajar arti pentingnya teman, keluarga, komunitas. Merekalah tempat kita berbagi tugas, peran, dan suka duka.
- Saling menginspirasi
Dalam rombongan itu, Saya dan Mbak Lisa juga anaknya, Evan adalah tim keong, tim paling ekor nyampai puncak.
Ada pengalaman menarik ketika kami bertiga tertatih-tatih mendaki, sementara anggota rombongan lain udah sampai puncak Bondolan. Dalam perjalanan bertiga itu, Lisa ternyata termotivasi dengan kondisiku yang menurut dia cukup bagus. “Wulan yang persiapannya bagus saja masih tertatih-tatih. Jadi ya wajar kalau aku pun begini karena persiapan fisik kurang memadai,”kata Lisa. Dan pikiran itulah yang membuat Lisa lanjut terus ke atas. Kami sama-sama tak muda lagi. Kami adalah emak-emak sesawi yang terlambat hobi naik gunung. Lisa 52 tahun dan saya 45 tahun.
Jadi, meski kondisi kita kurang baik, sering kali justru malah bisa jadi penyemangat, pendorong bagi orang lain. Jadi jangan pernah merasa kecil hati dan tak berguna.
Keenam nilai yang saya temukan ini bagi saya merupakan jejak-jejak kaki Tuhan. Kesadaran akan rahmat kekuatan diri, semangat yang kita miliki, dorongan hati dan kebaikan orang lain saya rasa dalah kaki-kaki Tuhan yang menopang hidup kita. Juga dalam kehidupan sehari-hari dan tempat kerja.
Jadi, saya bersyukur bisa ikut program naik gunung Paguyuban Sesawi yang diprakarsai oleh Mas Abdi dan Mas Anton ini. Sudah dua kali kita menggunung. Tahun lalu, Bulan Oktober ke Gunung Sanggabuana di Karawang. Tahun ini, Bulan September. Naik gunung bukan sekadar melampiaskan hobi, tapi menggali dan menanamkan nilai-nilai hidup yang penting. Maka, Leon – sesawi kecil yang masih kelas tiga SD dan Evan serta Hannah yang sudah mahasiswa, saya rasa beruntung bisa diajak para senior pendaki gunung sesawi ini.
Saya baru sadar, kenapa di Jesuit ada kebisaan naik gunung….#sotoy😁
Thank u utk sharingnya Mbak Wulan. Apakah juga merasakan keindahan dan keagungan Tuhan melalui alam ciptaanNya yg begitu indah ?
ah jadi teringat duluuu ketika naik ke sana melewati jalan setapak nanjak, di kiri kanan ada tanaman daun bawang yang tumbuh menghijau. Puji Tuhan telah turun juga dengan selamat, karena mendaki Gunung bukan hanya soal mendakinya, tapi juga soal turun gunungnya yang harus dijalani dengan sabar dan aman / selamat. Salam selalu.