Air mataku tak tertahan keluar dengan sendirinya ketika renungan jalan salib ala Rumah Singgah Maria Melung Purwokerto ini sampai pada adegan Bunda Maria menerima jenazah puteranya di pangkuan (Perhentian XII), memeluknya erat tubuh yang berlumuran darah, mencium keningnya, dan berkata dalam hati : “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu”.
Mukaku sedikit kuangkat ke atas berharap agar air mata tidak terjatuh. Malu juga kalau istri dan teman-temanku tahu aku sedang menangis. Kataku dalam hati. Tapi, rupanya rasa sedih dan haru itu bukan dominasi hatiku sendiri saja. Yang lain juga merasakan yang sama. Wulan, Lisa, menyatakan getaran kesedihan yang tidak berbeda jauh dengan yang kualami. Pantas, aku kok merasakan getaran itu di seluruh tubuhku, ujarku dalam hati.
Ya, seperti yang sudah disampaikan temanku yang ternyata admin Melung, Mas Robertus Sutriyono dalam WA-nya saat aku hendak berangkat ke Melung, Sabtu (12/10/2024). (Renungan) jalan salib yang di Melung ini dibuat berbeda dengan jalan salib pada umumnya. Ada 13 perhentian, namun ditulis melalui kaca mata Maria. Jadi, jalan salib ini adalah bentuk kontemplasi bersama Bunda Maria menemani Yesus dalam sengsara dan penderitaanNya. (Anda bisa membaca teksnya di sini).
Aku menangis karena malu sekaligus sedih dengan diriku. Kualitas hatiku masih jauh dengan kualitas yang dimiliki Bunda Maria. Bunda Maria taat, rela, ikhlas meski situasinya berat, mengerikan, menyakitkan hingga menusuk jiwa, kata Simeon dalam kidungnya. “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan. Kelak suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.” (Luk 2:34-35).
Baru tersadar pas kami pulang, aku ingat kalau aku sempat marah-marah di jalanan menuju Melung di sekitaran Pejagan, Bumiayu. Di beberapa tempat, jalanan sedang diperbaiki dan sebenarnya sudah mengeras tapi ditutup sehingga mobil tidak bisa lewat. Di situlah beberapa orang melakukan pungli ke kendaraan yang lewat. Mereka membuka jalanan tapi minta bayaran. Saya sempat berujar,”nggak usah dikasih, kalau mereka nggak terima, aku akan turun. Kalau perlu aku akan berkelahi!” seruku pada istri.
Entah sadar atau tidak kalimat itu muncul, yang jelas ucapan itu aku sadari sebagai wujud dari sisa-sisa sisi agresif dalam diriku. Kalau melihat ketidakjujuran, ketidakadilan, kecurangan aku mudah berang. Bahkan, waktu itu, dalam pikiran sudah terekonstruksi sebuah kekecewaan kenapa aku tidak bawa golok yang biasa aku bawa kalau camping. Bagi saya, pungli di jalanan itu suatu bentuk kecurangan dan saya sering kerap tidak kuasa menahan amarah bila menemui situasi itu. “Duh, Ibu Maria, nyuwun duka, nyuwun kawelasan kawula tiyang dosa.”
Agak melenceng sedikit dari refleksi ini, saya pikir untung saya tidak menjadi aktivis seperti kebanyakan teman-teman saya yang luar biasa membela orang-orang yang mengalami ketidakadilan. Menghadapi pungli kecil begitu saja saya terpancing untuk ngamuk, apalagi menghadapi ketidakadilan yang luar biasa terjadi di banyak sektor, di negeri ini. “Saya bisa gila kali,” pikir saya. Semoga teman-teman saya diberi kekuatan dan ketabahan.
Kembali ke renungan sebelumnya, meskipun semua rekonstruksi pikiran dan kata-kata itu tidak terwujud dalam tindakan nyata, saya sedih karena hati saya sama sekali tidak menunjukkan kualitas yang diharapkan Tuhan. Tulisan besar di bawah patung Bunda Maria di Melung berbunyi “Maria Mater Misericordiae” (Maria Bunda Berbelaskasih) masih terngiang terus di kepala dan menggetarkan hati meski kami sudah dalam perjalanan pulang menuju Jakarta.
Tampaknya jalan salib khas Melung itu menjadi tonggak penting saat Bunda Maria sendirilah menyentuh hatiku. Saat ini pun aku masih merasakan kesedihan itu. Di titik perjalanan hidup saya ini, saya masih mesti belajar agar hati saya penuh kasih sayang dan kelembutan seperti Bunda. “Ya Bunda, bantu aku untuk bisa memiliki hati seperti hatimu dan hati Puteramu,” doa saya.
Saya sadar, masa kecil saya bukanlah masa yang menyenangkan untuk diingat. Agresivitas itu muncul salah satunya karena rumah tinggal saya di Plombokan, Kota Semarang, di masa saya masih taman kanak-anak diliputi banyak ketakutan dan kengerian. Anak-anak muda yang dikenal dengan gali (gabungan anak liar) atau disebut preman zaman sekarang, kerap berkelahi dengan anak-anak muda kampung sebelah, Perbalan.
Setiap siang saya sering melihat mereka mengasah pedang panjang, golok, celurit. Dan memori yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika ayah saya dikejar salah satu dari anak-anak muda itu sambil mengacungkan celurit. Tentu saja, saya ketakutan. Anak muda itu mabuk dan tentu tidak peduli dan ingat bahwa yang dia kejar itu tetangganya sendiri yang tidak ada masalah dengannya sebenarnya.
Saya tidak hendak membela diri dan menyalahkan masa lalu. Namun, dalam permenungan lanjutan di rumah, memori itu keluar sendiri. Saya rasa seperti benang, titik-titik jalan hidup ini mengait sendiri. Momen pengenangan ini saya yakin merupakan penyadaran yang pada akhirnya dipakai Tuhan sendiri untuk menyembuhkan hati saya.
Dan puji Tuhan juga, ketika utak-atik mencari-cari ebook di laptop, tiga hari usai ziarah, saya kok tiba-tiba menemukan sebuah buku bagus yang rupanya mesti saya baca. Tuhan kelihatannya menjawab doa saya waktu misa usai jalan salib di Melung,”Tuhan, berilah saya rahmat kelemahlembutan dan kasih.” Sebuah buku menarik berjudul “Start Where You Are, A Guide to Compassionate Living” karya seorang Biksuni dari tradisi Buddha Vajrayana menarik perhatian saya dan mulai saya baca.
Saya ceritakan refleksi ini ke istri dan dia malah berujar. “Fix, kamu nggak usah nyetir.” Lah, saya yang kaget. Sejenak saya tercenung dan maklum dengan kekhawatiran dia. Namun, lepas dari itu, saya bersyukur bahwa saya memiliki istri yang hati dan pikirannya tidak sebrangasan saya (Jawa : Brangasan artinya gampang marah). Saya tahu Tuhan telah menyediakan sosok malaikat ini dalam hidup saya. Untuk menjaga hati dan emosi saya agar stabil, sekaligus menjadi model bagi saya untuk belajar tentang kelemahlembutan. Amin