Minggu, 3 November 2024
Hari ini Minggu 3 November 2024, tiga bacaan liturgi mengarahkan hati dan pikiran kita untuk merenungkan kedalaman kasih Tuhan serta komitmen total dalam mengikuti-Nya. Bacaan dari Ulangan 6:2-6, Ibrani 7:23-28, dan Markus 12:28b-34 menunjukkan perspektif berbeda namun saling melengkapi dalam menyampaikan tema utama: kasih yang tulus kepada Tuhan dan manusia sebagai inti dari iman kita.
Kasih kepada Tuhan dengan Sepenuh Hati
Bacaan dari Ulangan 6:2-6 memperkenalkan kita pada Shema, pengakuan iman yang amat berharga bagi umat Israel, yang menyatakan, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa. Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Ayat ini bukan sekadar ajakan melainkan panggilan komitmen penuh, di mana seluruh aspek diri – hati, jiwa, dan kekuatan – harus tertuju pada Tuhan.
Ahli tafsir Walter Brueggemann dalam bukunya Deuteronomy (2001) menegaskan bahwa dalam konteks Ulangan, panggilan untuk mengasihi Tuhan merupakan ajakan untuk hidup dalam perjanjian yang mendalam, bukan sekadar ritual atau hukum kering. Menurut Brueggemann, “Kasih kepada Tuhan dengan segenap hati adalah respons yang melibatkan segenap hidup manusia dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan Tuhan” (Brueggemann, 2001, hlm. 84).
Ini merupakan cinta yang terwujud dalam tindakan nyata, bukan sekadar perasaan yang pasif. Pengakuan ini pula yang menjadi dasar bagi umat beriman untuk menjaga kesetiaan dalam berbagai situasi kehidupan.
Kristus sebagai Imam Besar yang Kekal
Pada bacaan dari Ibrani 7:23-28, kita diperkenalkan dengan Kristus sebagai Imam Besar yang sempurna dan kekal, yang hidup untuk selamanya untuk menjadi pengantara bagi kita. Penulis Surat Ibrani menegaskan bahwa Yesus berbeda dari para imam lainnya karena Ia tidak pernah mengalami kematian yang memutuskan pelayanan-Nya. Dengan demikian, kehadiran-Nya tidak hanya mencakup kekekalan namun juga menjadi jaminan bahwa penebusan kita adalah sempurna dan tak terputus.
Komentator William Lane dalam Hebrews 1–8 (1991) menyoroti bahwa Kristus sebagai Imam Besar yang kekal merupakan bentuk kasih Allah yang sangat mendalam, di mana Ia tidak hanya memberikan hukum kepada kita, tetapi juga menjadi pengantara yang hidup. Lane menyatakan, “Sebagai Imam Besar yang kekal, Kristus telah menjadi jalan bagi umat-Nya untuk merasakan kasih Allah yang tak terputus” (Lane, 1991, hlm. 184).
Dalam Kristus, kita menemukan pengharapan yang tak tergoyahkan, karena Ia menanggung dosa kita sekali untuk selamanya, sehingga kita tidak perlu lagi hidup dalam rasa bersalah yang berulang. Penulis Ibrani mendorong kita untuk mendekat kepada Allah dengan keyakinan, karena Kristus sebagai Imam Besar telah mempersembahkan diri-Nya bagi kita, membuka jalan bagi hubungan yang erat dan tak terpisahkan dengan Allah.
Hukum Kasih yang Utama
Sementara Injil Markus hari ini menampilkan percakapan antara Yesus dan seorang ahli Taurat yang bertanya tentang hukum yang terutama. Yesus menjawab dengan mengutip Shema dari Ulangan 6:4-5, lalu menambahkan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Dalam jawaban ini, Yesus menghubungkan kasih kepada Tuhan dengan kasih kepada sesama, menunjukkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Kasih kepada Tuhan harus terwujud dalam kasih kepada sesama.
Banyak ahli, seperti N.T. Wright dalam bukunya Jesus and the Victory of God (1996), menafsirkan bahwa kasih yang dimaksud Yesus ini merupakan panggilan untuk keluar dari diri sendiri dan menempatkan orang lain dalam prioritas yang sama dengan diri sendiri. Wright menegaskan, “Kasih kepada sesama bukanlah tambahan, tetapi bagian integral dari komitmen iman kepada Tuhan” (Wright, 1996, hlm. 289). Dengan mengasihi sesama, kita mencerminkan kasih Allah yang hidup di dalam kita, dan dengan demikian memenuhi seluruh hukum.
Ketika Yesus mengatakan bahwa hukum kasih ini lebih besar dari semua korban bakaran dan persembahan, Ia memberikan penekanan bahwa tindakan luar saja tidak cukup. Kasih yang tulus datang dari hati yang hidup dalam relasi dengan Allah. Refleksi ini mendorong kita untuk merenungkan kembali: apakah kita telah mengasihi Tuhan dan sesama dengan tulus dan segenap hati?
Inti Iman
Ketiga bacaan ini mengajarkan kita bahwa kasih kepada Tuhan dan sesama adalah inti dari iman. Shema dalam Ulangan mengajarkan kita untuk mengasihi Tuhan secara total. Ibrani mengingatkan kita bahwa kasih Allah tercermin dalam peran Kristus sebagai Imam Besar yang hidup dan kekal, yang terus-menerus menjadi pengantara kita. Dan Injil Markus menegaskan bahwa kasih yang nyata kepada Tuhan hanya sah jika diwujudkan melalui kasih kepada sesama.
Panggilan ini menantang kita untuk bertanya: Apakah kita sudah memberikan seluruh hati, jiwa, dan kekuatan kita kepada Tuhan? Apakah kita melihat Tuhan dalam sesama kita dan mencintai mereka sebagai bagian dari pengabdian kita kepada Tuhan? Tafsiran dari para ahli mengajak kita untuk memahami bahwa kasih yang sejati kepada Tuhan membutuhkan tindakan konkret, bukan sekadar ritual belaka.
Pada akhirnya, ketiga bacaan ini mengajak kita untuk hidup dalam kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama. Bukan karena tuntutan hukum, tetapi karena kesadaran bahwa kita telah lebih dahulu dikasihi oleh Tuhan yang menjadi Imam Besar kita untuk selama-lamanya. Kasih yang kita berikan adalah balasan dari kasih yang telah kita terima, dan hanya melalui kasih inilah kita dapat mencapai hidup yang benar-benar bermakna di hadapan Tuhan.
Referensi:
- Brueggemann, Walter. Deuteronomy. Abingdon Press, 2001.
- Lane, William. Hebrews 1–8. Word Biblical Commentary, 1991.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.
luar biasa renungan minggu ini, semakin memahami arti sesama melalui firman