Selasa, 5 November 2024
Bacaan pertama hari ini, Filipi 2:5-11, menyebutkan bahwa Rasul Paulus menggambarkan sebuah “kenosis” atau penyangkalan diri Kristus, yang memperlihatkan bagaimana Yesus dengan rela mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, bahkan bersedia taat sampai mati di kayu salib. Sebagai balasannya, Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan Nama di atas segala nama, agar setiap lutut bertelut dan setiap lidah mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.
Dalam Lukas 14:15-24, Yesus memberikan perumpamaan tentang undangan ke perjamuan besar, yang diabaikan oleh banyak orang dengan berbagai alasan pribadi. Tuan pemilik perjamuan lalu mengundang orang miskin, cacat, lumpuh, dan buta, sebagai gambaran undangan kasih Allah yang universal dan inklusif. Pesan ini menekankan bahwa kasih karunia Allah tersedia untuk semua orang, namun membutuhkan respons dan komitmen untuk datang dan ikut serta.
Melalui dua bacaan ini kita mengambil satu benang merah. Kita diajak untuk menyadari bahwa hidup dalam semangat Kristus adalah hidup yang berani melakukan penyangkalan diri, memiliki kebesaran hati, dan kerendahan hati. Tindakan Yesus yang memilih mengosongkan diri bukanlah tindakan lemah, tetapi tanda dari kekuatan sejati, kekuatan yang mampu mencintai tanpa syarat dan berkorban tanpa pamrih. Saat kita berani berkorban bagi tetangga, teman, kita sudah mengosongkan diri. Saat kita berani melayani dengan penuh semangat tanpa mengharap imbalan, itu juga mengosongkan diri. Masih banyak contoh yang bisa kita sebut dalam hal ini.
Para teolog, seperti N.T. Wright dalam bukunya Paul and the Faithfulness of God (2013), menegaskan bahwa perikop ini menantang kita untuk melihat kekuasaan dan kemuliaan dalam sudut pandang yang berbeda—dalam kerendahan hati dan penyerahan diri kepada kehendak Allah.
Scott Hahn, dalam The Kingdom of God as Liturgical Empire (2009), melihat perumpamaan dalam Lukas sebagai panggilan setiap orang untuk “hadir dalam jamuan Allah.” Bagi Hahn, undangan ini merupakan simbol kasih Allah yang meluas kepada semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Mereka yang pertama kali diundang—seperti dalam cerita—tidak menerima undangan karena mereka mengutamakan hal-hal duniawi. Sementara, mereka yang kemudian diundang mencerminkan mereka yang miskin dalam semangat, yang siap menerima rahmat Tuhan tanpa syarat atau alasan.
Kedua bacaan ini juga mengarahkan perhatian kita pada konsep partisipasi dalam misi Allah. Kita sendiri adalah mitra Allah, kolaborator Tuhan. Tuhanlah si pemilik projek. Dengan meneladani kerendahan hati Kristus, kita dipanggil untuk hadir dan merespons undangan Allah dengan sukacita dan komitmen yang penuh menurut kondisi kita masing-masing. Sebagaimana dikatakan oleh Henri Nouwen dalam The Return of the Prodigal Son (1992), kehidupan Kristiani adalah sebuah perjalanan pulang menuju Allah, perjalanan yang mengharuskan kita untuk melepaskan kelekatan kita atas dunia demi kasih yang lebih besar.
Bacaan-bacaan ini mengingatkan kita bahwa pengosongan diri dan penerimaan undangan Tuhan adalah panggilan setiap hari, sebuah perjalanan batin menuju kebebasan sejati.
Daftar Pustaka :
- Hahn, Scott. The Kingdom of God as Liturgical Empire: A Theological Commentary on 1-2 Chronicles. Grand Rapids: Baker Academic, 2009.
- Nouwen, Henri J.M. The Return of the Prodigal Son: A Story of Homecoming. New York: Doubleday, 1992.
- Wright, N.T. Paul and the Faithfulness of God. Minneapolis: Fortress Press, 2013.