Jumat, 8 November 2024
Bacaan pertama, Jumat hari ini Filipi 3:17-4:1, Rasul Paulus mengundang jemaat Filipi untuk meneladani dirinya sebagai orang yang hidup berakar pada Kristus. Ia juga mengingatkan mereka akan dua jalan yang mungkin ditempuh manusia: jalan Kristus atau jalan yang berlawanan dengan kehendak Allah. Paulus berbicara tentang orang-orang yang “menjadikan perut mereka sebagai allah mereka,” sebagai gambaran mereka yang lebih berfokus pada kenikmatan duniawi daripada tujuan kekal. Paulus menyerukan mereka untuk hidup sebagai warga surga, mengarahkan pandangan pada harapan eskatologis, yakni kebangkitan dan hidup kekal bersama Kristus.
Teolog William Barclay dalam The Letters to the Philippians, Colossians, and Thessalonians (1975) mengamati bahwa ajakan Paulus ini bersifat sangat pastoral. Paulus tidak hanya menyampaikan teguran, tetapi juga memberikan diri sebagai contoh nyata. Dalam kehidupannya, Paulus menunjukkan bagaimana iman tidak hanya diwujudkan dalam kata-kata tetapi melalui tindakan, sehingga ia bisa mengatakan “ikutilah teladanku.”
Dalam kehidupan kita, pesan ini mengingatkan agar kita tidak terlalu terikat pada pencapaian materi, status, atau ambisi pribadi. Misalnya, dalam dunia kerja, banyak orang mengejar karier dan posisi hingga kadang melupakan nilai-nilai iman dan etika. Mengejar karier dan posisi tentu bukan satu hal yang keliru. Yang keliru bila karier dan posisi itu menjadi segala-galanya dan mengabaikan integritas kita.
Mereka mungkin tergoda untuk mengabaikan waktu bersama keluarga atau untuk mengorbankan integritas demi keuntungan pribadi. Maka, Paulus mengajak kita fokus pada tujuan yang lebih tinggi—hidup sebagai warga surga—dan melihat segala sesuatu di dunia ini sebagai sarana, bukan tujuan akhir.
Kita bisa bertanya pada diri sendiri: apakah keputusan yang kita buat hari ini mengarahkan pada kehidupan yang berkenan kepada Tuhan, atau justru menjauhkan dari-Nya?
Bijak Seperti Ular
Sementara itu, Lukas 16:1-8 berkisah tentang bendahara yang tidak jujur, yang setelah mengetahui dirinya akan dipecat, menggunakan kekayaan tuannya untuk membuat perjanjian dengan para kreditur demi masa depannya. Meskipun tindakannya tidak bermoral, Yesus justru memuji kecerdikan bendahara ini karena ia berpikir secara kreatif untuk mengamankan masa depannya. Ini adalah perumpamaan yang mengandung paradoks, di mana Yesus mendorong kita untuk “bijak seperti ular” (Matius 10:16) dan menggunakan kecerdasan untuk tujuan yang benar.
Menurut teolog D.A. Carson, dalam bukunya Jesus’ Sermon on the Mount and His Confrontation with the World (1978), perumpamaan ini bukanlah pembenaran atas ketidakjujuran, tetapi pelajaran bagi kita untuk bijaksana dan cerdik dalam menggunakan apa yang kita miliki untuk mencapai tujuan yang lebih mulia. Gereja awal sering menggunakan perumpamaan ini untuk mengajarkan pentingnya memperhatikan kesejahteraan sesama dan menggunakan kekayaan secara bijak demi pelayanan kasih.
Perumpamaan ini juga mengundang kita untuk merenungkan bagaimana kita mesti menggunakan berkat yang kita miliki. Ambil contoh misalnya, seorang pebisnis sukses dapat menggunakan kecerdasan dan kemampuannya untuk memberi dampak positif, seperti mendukung pendidikan anak-anak yang kurang mampu atau menyediakan beasiswa bagi yang membutuhkan. Atau bagi mereka yang bekerja di sektor sosial, perumpamaan ini mengajak mereka untuk berpikir kreatif dan efektif dalam menggunakan sumber daya yang terbatas agar lebih banyak orang bisa terbantu.
Menemukan Makna Bersama
Kedua bacaan ini, meski berasal dari konteks yang berbeda, mengajak kita untuk hidup bijaksana dengan fokus yang jelas. Dari Paulus, kita diajak untuk melihat hidup sebagai warga surga, melepaskan keterikatan pada hal-hal yang fana dan mengarahkan hati kepada hal-hal kekal. Sementara itu, dari perumpamaan Yesus, kita belajar tentang pentingnya kecerdikan dalam menggunakan berkat yang kita miliki di dunia ini untuk membantu sesama.
Keduanya menantang kita untuk membarui cara pandang kita terhadap kehidupan, agar tidak mudah terombang-ambing oleh keinginan duniawi yang cepat berlalu. Dalam hal ini, teolog Karl Barth dalam Church Dogmatics (1956) menyebutkan, “Hidup beriman kita bukanlah penyangkalan terhadap dunia, tetapi hidup yang berada di dunia namun terarah kepada Allah.” Barth mengingatkan kita bahwa hidup yang benar di hadapan Tuhan adalah hidup yang tetap hadir di tengah dunia dengan sikap yang benar.
Kesimpulannya, dua bacaan ini mengajarkan bahwa mengikuti Kristus tidak hanya berarti hidup dalam kejujuran dan integritas, tetapi juga menjadi cerdik dalam membangun kerajaan Allah di tengah dunia yang kompleks. Kita dipanggil untuk menjadi warga surga yang tetap bijaksana dan cerdik dalam menggunakan segala yang Tuhan berikan untuk tujuan yang mulia dan kekal.
Daftar Pustaka :
- Barclay, William. The Letters to the Philippians, Colossians, and Thessalonians. Philadelphia: Westminster Press, 1975.
- Carson, D.A. Jesus’ Sermon on the Mount and His Confrontation with the World. Grand Rapids: Baker Book House, 1978.
- Barth, Karl. Church Dogmatics. Vol. IV. Edinburgh: T&T Clark, 1956.