22 November 2024
Ketika kita membaca Wahyu 10:8-11 dan Lukas 19:45-48, kita dibawa pada dua momen penuh makna dalam Kitab Suci yang menyuarakan panggilan untuk setia pada kebenaran Allah, bahkan ketika kebenaran itu pahit atau menantang. Ini mengingatkan kita akan kesetiaan Santa Sesilia, perawan dan martir, yang dikenang setiap 22 November sebagai simbol keberanian dan komitmen iman yang tak tergoyahkan di tengah ancaman dunia.
Dalam Wahyu 10:8-11, kita melihat kisah Yohanes yang diperintahkan oleh suara dari surga untuk mengambil gulungan kitab kecil dan memakannya. “Ia akan membuat perutmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis seperti madu,” demikian perintah malaikat itu. Pesan ini mengungkapkan paradoks iman: Firman Allah, yang pada awalnya tampak manis, mungkin menjadi pahit saat kita memaknainya dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan tantangan dan pengorbanan. R.P. Francis Moloney, dalam bukunya The Gospel of John (1998), menjelaskan bahwa tindakan memakan gulungan itu adalah simbol dari kesediaan nabi untuk sepenuhnya mengambil bagian dalam pesan Allah, baik dalam suka maupun duka. Tafsir ini mengajak kita untuk melihat kehidupan kita sendiri: apakah kita cukup berani untuk menerima Firman Allah dengan segala konsekuensinya, meski itu berarti menghadapi penderitaan atau bahkan pengorbanan?
Sementara itu, dalam Lukas 19:45-48, Yesus mengusir para pedagang dari Bait Allah, mengutuk penyalahgunaan rumah Allah sebagai “sarang penyamun” dan menegaskan tempat ibadah sebagai ruang suci bagi semua bangsa. Dalam konteks ini, tindakan Yesus adalah sebuah konfrontasi terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan agama. Menurut Richard A. Burridge dalam bukunya Four Gospels, One Jesus? (2005), tindakan Yesus ini bukan hanya untuk membersihkan Bait Allah secara fisik, tetapi juga sebuah kritik keras terhadap sistem keagamaan yang korup dan tidak mencerminkan belas kasih Allah. Ini adalah panggilan bagi kita untuk senantiasa menjaga integritas iman dan keadilan di tengah dunia yang sering kali memutarbalikkan kebenaran demi kepentingan pribadi.
Ketika kita merenungkan keberanian Santa Sesilia, kita melihat bagaimana iman dapat membawa seseorang untuk menanggung penderitaan demi kebenaran yang lebih besar. Santa Sesilia dikenal sebagai sosok yang, meskipun menghadapi ancaman kematian, tetap teguh pada keyakinannya. Dia menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada Allah, menjadikan kehidupannya sebagai saksi dari iman yang berani dan tak tergoyahkan. Edward Kilmartin, dalam buku The Eucharist in the West (1998), menggambarkan para martir seperti Santa Sesilia sebagai teladan iman yang memancarkan keindahan Injil di tengah kebrutalan dunia. Mereka tidak hanya mengucapkan iman mereka, tetapi menghidupinya, bahkan dalam pengorbanan yang paling besar sekalipun.
Santa Sesilia, yang dikenal sebagai pelindung musik gereja, juga menunjukkan kepada kita bagaimana iman dapat diekspresikan dengan cara yang indah dan kreatif, bahkan di tengah penderitaan. Baginya, puji-pujian kepada Tuhan menjadi bentuk penyerahan diri yang paling mendalam, suatu ungkapan cinta yang melampaui rasa takut akan kematian. Gereja mengenang Santa Sesilia tidak hanya karena kematiannya, tetapi juga karena cara hidupnya yang penuh dengan cinta kepada Allah yang diekspresikan melalui musik dan doa.
Ketiga bacaan ini, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, mengingatkan kita pada inti iman Kristiani: kesetiaan kepada Allah, bahkan ketika panggilan itu tampak pahit dan penuh dengan risiko. Kita dipanggil untuk tidak hanya mendengarkan Firman, tetapi juga menghidupinya, meski harus menghadapi tantangan dan ancaman. Seperti Yohanes yang memakan gulungan kitab, seperti Yesus yang membersihkan Bait Allah, dan seperti Santa Sesilia yang menyerahkan hidupnya, kita dipanggil untuk menjadi saksi yang hidup dari kebenaran dan kasih Allah.
Di tengah dunia yang penuh dengan kompromi dan ketidakadilan, kisah-kisah ini mengundang kita untuk meneladani keberanian mereka yang mempertahankan iman dengan sepenuh hati. Mereka mengingatkan kita bahwa iman bukanlah sesuatu yang mudah atau selalu manis. Namun, meski pahit sekalipun, kesetiaan kepada Allah akan selalu membawa kita kepada kebahagiaan yang sejati dan kekal, seperti yang dijanjikan dalam Injil. Di sinilah letak keindahan iman kita: kesediaan untuk hidup seturut dengan kebenaran, meski itu berarti berkorban, dan di dalamnya menemukan sukacita yang abadi.
DAFTAR PUSTAKA:
- Burridge, Richard A. Four Gospels, One Jesus? A Symbolic Reading. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2005.
- Kilmartin, Edward J. The Eucharist in the West: History and Theology. Collegeville, MN: Liturgical Press, 1998.
- Moloney, Francis J. The Gospel of John. Collegeville, MN: Liturgical Press, 1998.