Jumat, 6 Desember 2024
Pernahkah kita merasa seperti berjalan dalam gelap, tanpa arah, mengandalkan sesuatu yang lebih dari sekadar indra fisik kita? Dalam Yesaya 29:17-24, ada janji transformasi yang begitu mendalam. Tempat-tempat gersang akan menjadi taman, dan orang-orang tuli akan mendengar suara. Sedangkan dalam Matius 9:27-31, kita menemukan dua orang buta yang dengan iman memohon belas kasihan dari Yesus. Kedua bacaan ini memadukan harapan dan iman dalam harmoni yang indah, memberikan kita wawasan tentang apa artinya melihat, tidak hanya dengan mata, tetapi dengan hati yang percaya.
Nabi Yesaya berbicara tentang pembaruan total dalam kehidupan manusia, di mana ketidakadilan dan penindasan akan digantikan oleh damai sejahtera dan keadilan. Profesor John Goldingay dalam The Theology of the Book of Isaiah (2006) menekankan bahwa nubuat ini bukan hanya tentang perubahan fisik, tetapi tentang penyembuhan hubungan antara manusia dan Allah. Ketika taman-taman berkembang, itu adalah simbol kehadiran Tuhan yang memulihkan dunia. Bacaan ini berbicara tentang Allah yang menyentuh aspek-aspek terdalam kehidupan, mengubah hati yang keras menjadi lembut dan mendamaikan mereka yang terasing dengan-Nya.
Di sisi lain, Matius membawa kita ke cerita konkret dua orang buta yang berseru, “Kasihanilah kami, hai Anak Daud!” Mereka tidak memiliki penglihatan fisik, tetapi mereka memiliki visi rohani. Raymond Brown dalam The Birth of the Messiah (1993) mencatat bahwa seruan mereka sebagai “Anak Daud” adalah pengakuan iman yang mendalam, karena itu menunjukkan bahwa mereka mengenali Yesus sebagai Mesias. Dengan tindakan percaya yang sederhana namun kuat, mereka melangkah mendekati Yesus, percaya bahwa belas kasih-Nya akan membawa terang ke dalam kegelapan mereka.
Ketika Yesus bertanya, “Percayakah kamu bahwa Aku dapat melakukannya?” pertanyaan itu bukan untuk menguji mereka, tetapi untuk membuka ruang bagi iman mereka untuk diwujudkan. Dan ketika mereka menjawab “Ya, Tuhan,” iman mereka menjadi kunci yang membuka mukjizat. Menariknya, meskipun Yesus memerintahkan mereka untuk tidak memberitahu siapa pun, sukacita mereka meluap-luap sehingga mereka tidak dapat menahan diri. Peristiwa ini menunjukkan bahwa iman yang sejati tidak dapat dikurung atau dibatasi—iman itu seperti cahaya yang secara alami menerangi sekelilingnya.
Dua bacaan ini mengingatkan kita bahwa mujizat, baik dalam bentuk fisik maupun spiritual, terjadi ketika kita menyerahkan diri dengan penuh kepercayaan kepada Allah. Melalui suara nabi Yesaya, kita diajak untuk merenungkan bahwa pembaruan sejati datang ketika hati kita terbuka untuk dipimpin oleh Allah. Sementara itu, melalui kisah dalam Matius, kita belajar bahwa iman tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mengarahkan kita untuk mengenali dan memuliakan Allah dalam setiap langkah hidup kita.
Dalam kehidupan modern kita, mungkin kita tidak lagi mencari mukjizat berupa pemulihan penglihatan secara harfiah. Namun, kita semua membutuhkan “penglihatan” yang lebih dalam: untuk melihat keindahan di tengah kekacauan, untuk melihat pengharapan di tengah kegelapan, dan untuk melihat Tuhan yang berjalan bersama kita dalam setiap langkah. Seperti kata Ignatius Loyola, “Carilah Tuhan dalam segala hal.” Iman kita, seperti iman dua orang buta itu, dapat menjadi terang dalam perjalanan kita menuju kehidupan yang penuh arti.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah. New York: Doubleday, 1993.
- Goldingay, John. The Theology of the Book of Isaiah. Downers Grove: IVP Academic, 2006.
- Wright, N.T. Simply Jesus: A New Vision of Who He Was, What He Did, and Why He Matters. New York: HarperOne, 2011.