Rabu, 18 Desember 2024
Dalam kitab Yeremia 23:5-8, kita menemukan nubuat yang menggugah hati, suatu janji ilahi tentang kedatangan seorang Raja yang akan memerintah dengan keadilan dan kebenaran. Yeremia, seorang nabi yang hidup di tengah situasi politik yang penuh pergolakan, menawarkan secercah harapan kepada Israel yang terpuruk akibat dosa dan pembuangan. “Sesungguhnya, waktunya akan datang,” demikian firman Tuhan, “bahwa Aku akan menumbuhkan tunas adil bagi Daud.” Pernyataan ini menggambarkan pemenuhan janji Allah untuk mendirikan kerajaan yang kekal melalui keturunan Daud. Raja ini akan membawa keamanan dan keadilan sejati, dua elemen yang sangat dirindukan umat Allah.
Sementara itu, dalam Matius 1:18-24, kita menyaksikan realisasi nubuat ini dalam sosok Yesus Kristus. Injil Matius membuka kisah tentang kelahiran Yesus dengan menghubungkannya langsung pada silsilah Daud, memastikan bahwa janji dalam Yeremia dipenuhi. Yusuf, seorang yang benar dan saleh, menjadi alat Allah untuk menjaga rencana ini. Ketika Yusuf diberitahu melalui mimpi bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus, ia diundang untuk menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Ketaatan Yusuf menjadi cerminan bagaimana manusia dapat bekerja sama dengan kehendak ilahi, bahkan ketika itu menuntut iman yang besar.
Para ahli tafsir, seperti Walter Brueggemann dalam The Prophetic Imagination (1978), menekankan bahwa nubuat Yeremia tidak hanya merujuk pada aspek politis, tetapi juga pada transformasi batiniah umat. Raja yang dijanjikan ini bukan hanya seorang pemimpin manusiawi, tetapi perwujudan kehendak Allah untuk menciptakan tatanan baru yang berdasarkan pada shalom, kedamaian menyeluruh yang mencakup hubungan dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Dalam Yesus, kita melihat penggenapan ini; Ia bukan hanya Raja yang membawa keadilan, tetapi juga Mesias yang mendamaikan manusia dengan Allah melalui karya penebusan-Nya.
Di sisi lain, Raymond E. Brown dalam The Birth of the Messiah (1977) menggarisbawahi pentingnya Yusuf sebagai tokoh sentral dalam narasi kelahiran Yesus. Yusuf digambarkan sebagai seorang yang menghadapi dilema moral besar, tetapi tindakannya mencerminkan iman yang luar biasa. Keputusannya untuk tetap bersama Maria dan mengadopsi Yesus sebagai anaknya mengukuhkan silsilah Daud dalam diri Yesus, sebagaimana dituntut oleh hukum Yahudi. Brown menyoroti bahwa melalui Yusuf, kita belajar tentang keberanian untuk melangkah dalam ketaatan, bahkan ketika masa depan tampak penuh ketidakpastian.
Kedua bacaan ini berbicara tentang harapan yang melampaui batas waktu. Dalam Yeremia, kita diajak untuk menantikan pemenuhan janji Allah yang membawa keadilan dan kedamaian. Dalam Matius, kita melihat janji itu terpenuhi dalam Kristus, Sang Imanuel, Allah yang menyertai kita. Kelahiran Yesus bukan hanya peristiwa historis, tetapi momen transformasi kosmis di mana Allah sendiri turun ke dunia untuk menyelamatkan umat-Nya. Refleksi ini mengundang kita untuk membuka hati, seperti Yusuf, terhadap panggilan Allah yang seringkali datang dalam cara yang tak terduga.
Ketika kita merenungkan makna kedatangan Yesus, kita juga diajak untuk meneladani Yusuf dan Maria: menerima karya Allah dalam hidup kita dengan iman dan kerendahan hati. Di tengah dunia yang sering kehilangan arah dan penuh ketidakpastian, pesan ini tetap relevan. Kristus, Sang Raja Adil, hadir untuk memimpin kita menuju kehidupan yang penuh kasih dan pengharapan. Dalam setiap langkah kita, ada panggilan untuk menjadi bagian dari kerajaan-Nya yang membawa terang bagi dunia.
Daftar Pustaka
- Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Minneapolis: Fortress Press, 1978.
- Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah: A Commentary on the Infancy Narratives in Matthew and Luke. New York: Doubleday, 1977.
- Keener, Craig S. The Gospel of Matthew: A Socio-Rhetorical Commentary. Grand Rapids: Eerdmans, 2009.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. London: SPCK, 1996.
- Fitzmyer, Joseph A. The One Who Is to Come. Grand Rapids: Eerdmans, 2007.