Kamis, 19 Desember 2024
Hakim-Hakim 13:2-7, 24-25a, dan Lukas 1:5-25 membawa kita pada kisah dua keluarga yang dipilih Allah dalam sejarah keselamatan. Meski berasal dari konteks yang berbeda, kedua kisah ini memperlihatkan bagaimana Allah melampaui batas keterbatasan manusia untuk melaksanakan rencana-Nya yang mulia.
Dalam Hakim-Hakim, kita menemukan Manoah dan istrinya, yang tidak disebutkan namanya, sebagai pasangan yang mandul. Hidup dalam masa penindasan bangsa Israel di bawah Filistin, situasi mereka mencerminkan ketidakberdayaan tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bangsa. Namun, di tengah kegelapan ini, malaikat Tuhan datang dengan pesan yang penuh janji. Anak yang akan lahir dari pasangan ini akan menjadi Nazir Allah sejak lahir, dan melalui dia, Allah akan mulai membebaskan Israel. George F. Moore dalam A Critical and Exegetical Commentary on Judges (1895) mencatat bahwa kelahiran Simson bukan hanya mukjizat biologis tetapi juga simbol pemulihan identitas bangsa Israel di hadapan Allah.
Di sisi lain, dalam Lukas 1:5-25, kita bertemu dengan Zakharia dan Elisabet, pasangan yang setia tetapi menghadapi kenyataan pahit kemandulan di usia tua. Malaikat Gabriel menyampaikan pesan yang mirip dengan kisah dalam Kitab Hakim-Hakim: seorang anak yang akan menjadi besar di hadapan Tuhan. Yohanes Pembaptis, seperti Simson, juga disiapkan untuk tujuan khusus, yaitu mempersiapkan jalan bagi Mesias. Raymond E. Brown dalam The Birth of the Messiah (1977) menyoroti kesamaan kedua kisah ini sebagai bukti pola kerja Allah yang konsisten, di mana kelemahan manusia menjadi ruang bagi kuasa Allah untuk menyatakan diri-Nya.
Namun, perbedaan menarik muncul dalam tanggapan kedua pasangan ini. Istri Manoah menerima pesan dengan keyakinan penuh, sementara Zakharia, meskipun seorang imam, meragukan pesan Gabriel. Keraguan Zakharia yang mengarah pada kebisuannya bukanlah hukuman dalam arti penghukuman, tetapi kesempatan untuk merenung dan belajar mempercayai Allah sepenuhnya. Hans Urs von Balthasar dalam Prayer (1986) menyebut momen ini sebagai “sekolah kesunyian,” di mana manusia diajak untuk melepaskan kontrol dan membiarkan Allah berkarya sesuai dengan rencana-Nya.
Kedua kisah ini menyampaikan pesan universal tentang bagaimana Allah memilih mereka yang dianggap tidak mungkin untuk menjadi alat rencana keselamatan-Nya. Simson dan Yohanes adalah gambaran bagaimana Allah menguduskan manusia sejak lahir, memberikan mereka tugas yang melampaui kekuatan pribadi mereka. Namun, inti dari kedua bacaan ini bukan hanya tentang tokoh-tokohnya, melainkan tentang Allah yang setia kepada janji-Nya.
Dalam perenungan yang lebih dalam, kita diajak untuk melihat bagaimana Allah bekerja tidak hanya melalui mukjizat kelahiran, tetapi juga melalui proses perjalanan iman setiap individu yang terlibat. Elisabet dan istri Manoah, meskipun dalam budaya patriarkal sering kali dipinggirkan, menjadi tokoh penting yang melalui rahim mereka lahir penggenapan rencana Allah. Elisabeth Schüssler Fiorenza dalam In Memory of Her (1983) mengingatkan bahwa peran perempuan dalam narasi ini adalah tanda kehadiran Allah yang membebaskan, yang sering kali bekerja di luar batasan budaya dan norma manusia.
Kisah ini mengajarkan kita untuk mempercayai rencana Allah, bahkan ketika jalan-Nya tampak tidak masuk akal atau tidak sesuai dengan harapan kita. Dalam setiap keterbatasan manusia—baik itu kemandulan, keraguan, atau ketidakmampuan—Allah mampu berkarya dengan cara yang ajaib. Kita diundang untuk menyerahkan hidup kita kepada-Nya, percaya bahwa rencana-Nya selalu baik dan indah pada waktunya.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah. New York: Doubleday, 1977.
- Moore, George F. A Critical and Exegetical Commentary on Judges. Edinburgh: T&T Clark, 1895.
- Balthasar, Hans Urs von. Prayer. San Francisco: Ignatius Press, 1986.
- Fiorenza, Elisabeth Schüssler. In Memory of Her: A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins. New York: Crossroad, 1983.