Maria, seorang gadis muda dari Nazaret, adalah sosok sederhana yang tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan menjadi bagian dari kisah terbesar umat manusia. Film “Mary”, yang tayang di Netflix awal Desember 2024, adalah sebuah perjalanan emosional yang mengajak kita menyelami hati dan jiwa perempuan yang dipilih untuk mengandung harapan dunia. Dalam film ini, sutradara D.J. Caruso dengan cermat memadukan elemen-elemen spiritual dan manusiawi, menjadikan kisah Maria terasa begitu dekat dan nyata.
Maria, yang diperankan dengan sangat memukau oleh Noa Cohen, diperlihatkan sebagai seorang perempuan muda yang hidup dalam kesederhanaan. Hari-harinya dipenuhi oleh tugas-tugas rumah tangga dan momen-momen kebersamaan dengan Yusuf, seorang tukang kayu yang diperankan dengan penuh kasih oleh Ido Tako. Ketika malaikat datang membawa kabar bahwa ia akan mengandung sang Mesias, ekspresi Maria memperlihatkan pergulatan batin yang begitu dalam—perasaan takut, bingung, tetapi juga iman yang tak tergoyahkan. Dengan lirih, ia berkata, “Aku ini hamba Tuhan,” sebuah momen yang menjadi inti dari perjalanan spiritual dan emosional dalam film ini.
Namun, kisah Maria bukanlah dongeng di mana semua berjalan mulus setelah ia mengatakan “fiat.” Kata-kata “terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” tidak menghapuskan kerapuhan yang ia bawa, melainkan menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh pergulatan. Maria tetap harus menghadapi tantangan, dari ketidakpastian perjalanan ke Betlehem hingga rasa sakit fisik dan emosional saat melahirkan di tempat yang jauh dari layak.
Demikian pula dengan Yusuf. Dalam film ini, Yusuf digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih tetapi juga bergulat dengan tugas besar yang tiba-tiba ada di pundaknya. Yusuf adalah gambaran nyata dari seseorang yang tidak selalu memiliki jawaban, tetapi tetap memilih berjalan dengan iman. Saat ia menjaga Maria di tengah perjalanan yang berat, Yusuf menunjukkan bahwa kesetiaan sering kali lebih berharga daripada kepastian. Dalam setiap tindakannya, kita melihat manusia biasa yang berusaha melakukan yang terbaik di tengah situasi yang sulit.
Film ini tidak hanya memotret keajaiban, tetapi juga menghadirkan perjuangan manusiawi yang harus dilalui Maria dan Yusuf. Dalam perjalanan mereka ke Betlehem, kita melihat ketegangan dan kelelahan yang nyata—cuaca dingin, ketakutan akan bahaya, dan rasa tak berdaya karena tak menemukan tempat berlindung.
Namun, di tengah semua itu, ada kehangatan kecil yang menyentuh hati: Yusuf menghibur Maria dengan cerita-cerita sederhana, senyum di tengah kelelahan, dan kebersamaan yang tak ternilai. Momen-momen ini mengingatkan kita bahwa kisah mereka adalah tentang cinta dan pengorbanan, sesuatu yang melampaui batas waktu dan tetap relevan hingga hari ini.
Penampilan Anthony Hopkins sebagai Raja Herodes menjadi sorotan tersendiri dalam film ini. Hopkins memerankan Herodes dengan karisma gelap yang membuat setiap adegan kehadirannya terasa mencekam. Meski digambarkan sebagai tokoh antagonis, ada sekilas kemanusiaan yang tampak dalam ekspresi wajahnya—seolah-olah menunjukkan bahwa bahkan seorang raja besar pun tak mampu melawan rasa takutnya sendiri. Ini adalah salah satu kekuatan film ini, menampilkan karakter yang kompleks dan berlapis-lapis.
Yang membuat “Mary” begitu istimewa adalah keberaniannya untuk mengangkat sisi manusiawi dari kisah Maria. Dalam setiap langkahnya, kita merasakan ketakutan, kebingungan, tetapi juga keyakinan yang teguh. Ketika Maria menggendong bayi Yesus untuk pertama kalinya, air matanya tidak hanya mencerminkan kebahagiaan, tetapi juga kecemasan tentang apa yang akan datang. Ini adalah salah satu momen paling emosional dalam film, sebuah pengingat bahwa di balik legenda besar ini, ada seorang perempuan muda yang berjuang dengan hatinya sendiri untuk memahami panggilannya.
Saat film ini mencapai akhirnya, kita tidak hanya meninggalkan kisah Maria dan kelahiran Yesus, tetapi juga sebuah renungan tentang apa artinya memiliki iman di tengah ketidakpastian. Maria, dengan keberaniannya untuk berkata “ya” meskipun tidak tahu apa yang menanti, mengajarkan kita bahwa panggilan Tuhan bukanlah sebuah jaminan bahwa hidup akan menjadi mudah. Sebaliknya, panggilan itu sering kali mengundang kita untuk berjalan dalam kegelapan dengan keyakinan bahwa Tuhan akan menyertai. “Mary” adalah sebuah pengingat indah bahwa dalam kerapuhan manusia, keajaiban sejati dapat ditemukan.
Melalui film ini kita bisa berefleksi bahwa panggilan Tuhan tidak menunggu kita mesti menjadi sempurna terlebih dahulu. Tuhan menghendaki kita untuk melayaniNya,menggunakan dalam segala kerapuhan kita. Bukan karena kita sempurna, kita dipanggil. Namun justru karena di dalam kelemahan itu kehadiran-Nya menjadi nyata.