Sabtu, 28 Desember 2024
Kisah para martir kecil yang kita kenang dalam Pesta Kanak-Kanak Suci menggugah hati untuk merenungkan makna penderitaan yang tak bersalah di tengah dunia yang dipenuhi kegelapan. Bacaan 1 Yohanes 1:5-2:2 dan Matius 2:13-18 membawa kita pada dua gambaran yang saling berkaitan: cahaya dan kegelapan, harapan dan kejahatan yang mengintimidasi. Di dalam jalinan narasi ini, kita menemukan panggilan untuk mengenal kedalaman kasih Allah yang tetap setia, bahkan di tengah penderitaan yang tidak masuk akal.
“Allah adalah terang,” tulis Yohanes dalam 1 Yohanes 1:5, “dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan.” Pernyataan ini menyatakan dengan tegas bahwa sumber segala kebaikan berasal dari Allah. Namun, perjalanan manusia sering kali melibatkan pergumulan dengan bayang-bayang dosa yang memisahkan kita dari terang itu. Yohanes mengingatkan bahwa jalan menuju pengampunan dan penyatuan kembali dengan Allah dimungkinkan oleh darah Yesus Kristus, yang menjadi pendamaian bagi dosa-dosa kita.
Konteks ini menjadi lensa yang tajam untuk melihat kisah tragis dalam Matius 2:13-18. Herodes, dalam paranoia kekuasaannya, memerintahkan pembunuhan semua anak laki-laki di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah. Tindakan ini adalah ekspresi dari kegelapan yang mendalam—sebuah kejahatan yang lahir dari ketakutan dan kesombongan manusia. Namun, bahkan dalam tragedi tersebut, Matius menunjukkan bagaimana Tuhan bekerja di tengah kehancuran itu. Yusuf, melalui mimpi, diberi peringatan untuk membawa Maria dan Yesus ke Mesir, sebuah tindakan yang menyelamatkan sang Mesias dari ancaman maut.
Teolog Karl Rahner (Theological Investigations, 1961) menafsirkan peristiwa Kanak-Kanak Suci sebagai pengingat akan solidaritas Allah dengan yang paling rentan di antara kita. Rahner menulis, “Kanak-Kanak Suci bukan sekadar korban sejarah; mereka adalah simbol dari semua ketidakadilan yang diterima oleh yang lemah di dunia ini, namun dalam penderitaan mereka, Allah hadir.” Di sisi lain, N.T. Wright (The New Testament and the People of God, 1992) menegaskan bahwa narasi ini memperlihatkan bagaimana Yesus sejak awal menjadi sasaran dari kekuatan dunia yang menolak terang. Kanak-Kanak Suci menjadi tanda awal akan jalan salib yang akan ditempuh Yesus, jalan yang membawa terang kepada semua orang.
Refleksi ini membawa kita untuk melihat betapa sering dunia modern masih mencerminkan kegelapan serupa. Anak-anak, yang seharusnya hidup dalam keceriaan dan harapan, kerap menjadi korban dari konflik, eksploitasi, dan kekerasan. Ketika kita merenungkan Pesta Kanak-Kanak Suci, kita diundang untuk bertanya pada diri sendiri: Bagaimana kita dapat menjadi saksi terang Allah dalam dunia yang penuh kegelapan ini? Dalam kehidupan kita, bagaimana kita memeluk kelemahlembutan dan kepolosan yang ditunjukkan oleh anak-anak, sekaligus berdiri melawan kejahatan yang mengancam mereka?
Para martir kecil ini mengajarkan kita bahwa meskipun kegelapan tampak kuat, ia tidak pernah bisa memadamkan terang. Seperti yang Yohanes katakan, “Jika kita hidup di dalam terang, sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain” (1 Yohanes 1:7). Panggilan ini adalah panggilan untuk berpartisipasi dalam misi Kristus: menjadi pembawa terang, menolak kegelapan, dan melindungi yang rentan.
Ketika kita mengenang Kanak-Kanak Suci, kita diajak untuk tidak hanya menangisi penderitaan mereka tetapi juga untuk memperbarui komitmen kita kepada kehidupan yang penuh kasih dan keadilan. Di dalam terang Kristus, setiap kegelapan akhirnya akan sirna, dan dalam kasih-Nya, setiap luka akan sembuh.
Daftar Pustaka
- Rahner, Karl. Theological Investigations. 1961.
- Wright, N.T. The New Testament and the People of God. 1992.
- Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah. 1977.