Senin, 30 Desember 2024
Di tengah gemerlapnya dunia yang kadang memabukkan, ada suara lembut yang memanggil kita untuk melihat lebih dalam, melampaui yang fana. Dua bacaan Kitab Suci hari ini, 1 Yohanes 2:12-17 dan Lukas 2:36-40, mengalir seperti dua sungai yang bertemu, mengajarkan bagaimana hidup kita mesti diarahkan oleh terang yang tak pernah padam, yakni kasih kepada Allah yang abadi.
Bayangkan suasana ketika Yohanes menulis suratnya. Komunitas kecil pengikut Kristus, tersembunyi di balik bayang-bayang dunia yang sering kali memusuhi mereka, sedang mencari kekuatan untuk terus bertahan. Yohanes, dengan kasih yang penuh kehangatan seorang bapa rohani, mengangkat pena dan menyampaikan nasihatnya. “Janganlah mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya,” tulisnya, bukan dengan nada menghardik, melainkan seperti seorang ayah yang khawatir anak-anaknya akan tersesat.
Dunia yang dimaksud Yohanes bukanlah bumi yang indah, tempat bunga bermekaran dan langit membentang luas, melainkan sistem nilai yang membutakan kita dari Allah. Raymond E. Brown, dalam tafsirannya, menyebutkan bahwa Yohanes mengingatkan kita tentang dunia sebagai hal-hal yang membuat kita lupa akan panggilan sejati kita—untuk mengasihi Allah dan sesama.
Dunia ini menggoda dengan keinginan mata, nafsu daging, dan kesombongan. Namun, Yohanes tidak berhenti di sana. Ia juga memberi harapan, bahwa barang siapa yang tetap setia pada kehendak Allah, hidupnya akan bertahan selamanya.
Sementara itu, di Bait Allah Yerusalem, kita bertemu dengan sosok yang begitu memukau dalam ketekunannya: Hana, seorang nabi perempuan. Lukas, dalam Injilnya, menggambarkan Hana dengan lembut, hampir seperti melukisnya di atas kanvas. Hana adalah seorang janda yang telah lama ditinggalkan oleh dunia, tetapi ia tidak pernah merasa sendirian. Hari-harinya dipenuhi doa dan puasa, dan malam-malamnya diterangi oleh harapan yang tak kunjung padam.
Lalu, suatu hari yang tampaknya biasa, Hana melihat sebuah keluarga muda memasuki Bait Allah. Di pelukan sang ibu, seorang bayi kecil, yang dalam keheningan hatinya, ia tahu adalah Sang Penebus. Tidak ada keraguan dalam dirinya. Hana, yang telah menunggu bertahun-tahun, akhirnya melihat penggenapan janji Allah. Dengan penuh sukacita, ia memuji Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang mau mendengar.
N.T. Wright menyebut kisah Hana sebagai bukti bahwa ketekunan tidak pernah sia-sia. Bagi Hana, menunggu bukanlah beban, melainkan sebuah perjalanan spiritual. Setiap doa yang ia panjatkan adalah jembatan yang menghubungkan hatinya dengan Allah, bahkan ketika waktu terasa seperti berdiam terlalu lama.
Membaca kedua kisah ini, hati kita digugah. Yohanes dan Hana, meskipun berbeda dalam konteks, mengajarkan pesan yang sama: jangan terjebak oleh dunia yang sementara, tetapi carilah Allah dengan seluruh hati. Dalam hidup kita yang sering kali tergesa-gesa, pesan ini menjadi seperti bisikan lembut di tengah hiruk-pikuk dunia.
Kita mungkin tidak hidup seperti Hana, berdoa siang dan malam di Bait Allah, tetapi dalam rutinitas kita, ada ruang untuk kehadiran Allah. Apakah itu dalam doa pagi yang singkat, dalam senyum yang kita berikan kepada seseorang, atau dalam pengampunan yang kita tawarkan—semua itu adalah tanda bahwa kita tidak mengasihi dunia ini lebih daripada Allah.
Bayangkan diri Anda sebagai Hana, menatap bayi Yesus dengan mata penuh haru. Segala kehilangan yang ia alami, kesepian yang panjang, semua menjadi kecil di hadapan kasih yang ia temui. Begitu pula, Yohanes mengingatkan bahwa meskipun dunia ini memukau, semua itu hanyalah bayangan dari kebenaran sejati yang ada di dalam Allah.
Di tengah gemerlap dunia modern, pesan mereka terasa begitu relevan. Dunia terus menawarkan banyak hal yang tampak memukau, tetapi yang fana tidak pernah benar-benar dapat memuaskan hati kita. Yohanes dan Hana memanggil kita untuk melihat melampaui itu, menuju kasih yang kekal.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Epistles of John: A New Translation with Introduction and Commentary. Garden City, NY: Doubleday, 1982.
- Wright, N.T. Luke for Everyone. London: SPCK, 2004.