Selasa, 7 Januari 2025
“Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah” (1 Yohanes 4:7). Kata-kata Yohanes ini menggema sebagai undangan yang lembut namun mendesak. Kasih bukan sekadar emosi atau tindakan baik yang sporadis; kasih adalah identitas ilahi yang mengalir dalam kehidupan manusia. Dari kasih Allah, kita menemukan asal-usul dan tujuan keberadaan kita.
Markus 6:34-44 membawa kita ke padang belantara yang sunyi, tempat Yesus menyatakan belas kasih-Nya yang mendalam. Dia melihat orang banyak dan tergerak oleh kasih, sebab mereka seperti domba tanpa gembala. Dengan hati penuh perhatian, Dia tidak hanya mengajarkan kebenaran tetapi juga memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan. Peristiwa ini menjadi simbol keajaiban kasih yang berlipat ganda ketika diserahkan kepada Allah.
Para teolog seperti Raymond E. Brown dalam The Gospel and Epistles of John (1988) menyebut kasih Allah sebagai manifestasi paling agung dari perjanjian baru. Brown menyoroti bahwa kasih itu tidak pasif; ia melibatkan tindakan konkret untuk kebaikan sesama. Dalam konteks ini, Yohanes mengingatkan kita bahwa kasih kepada sesama bukanlah pilihan tetapi konsekuensi dari mengenal Allah.
Dalam Markus, Donald A. Hagner dalam The Jewish Reclamation of Jesus (1984) menyoroti bagaimana tindakan Yesus memberi makan orang banyak adalah penegasan dari janji Allah dalam Perjanjian Lama. Roti yang terlipat ganda tidak hanya memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga mengingatkan orang banyak akan manna di padang gurun, lambang pemeliharaan Allah yang tak pernah putus.
Kedua bacaan ini bersinergi dalam menggambarkan kasih yang memberi dan memenuhi. Kasih Allah tidak abstrak; ia menggerakkan hati untuk bertindak nyata. Dalam pengalaman hidup sehari-hari, kita sering menghadapi kebutuhan yang melampaui kemampuan kita. Namun, melalui perumpamaan lima roti dan dua ikan, Yesus mengajarkan bahwa ketika kita menyerahkan apa yang kita miliki, betapapun kecilnya, ke dalam tangan Allah, Dia mampu mengubahnya menjadi berkat yang melimpah bagi banyak orang.
Henri Nouwen, dalam bukunya Life of the Beloved (1992), berbicara tentang bagaimana kasih sejati melibatkan keberanian untuk menjadi roti yang dipecah-pecahkan bagi dunia. Nouwen mengajarkan bahwa hidup yang dipenuhi kasih adalah hidup yang rela memberi, sekalipun itu berarti pengorbanan. Kasih sejati tidak menghitung untung rugi; ia memberi dengan tangan terbuka.
Dalam refleksi ini, kita diundang untuk melihat bahwa kasih Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus adalah kekuatan transformasi. Yohanes mengingatkan bahwa kasih itu adalah esensi Allah, sedangkan Markus menunjukkan bagaimana kasih itu bekerja dalam tindakan nyata. Pertanyaannya bagi kita adalah: bagaimana kita menghidupi kasih ini dalam dunia yang sering kali egois dan terfragmentasi? Mungkin jawabannya sederhana namun menuntut: kita dipanggil untuk memberi, bukan dari kelimpahan tetapi dari kerapuhan kita, percaya bahwa Allah yang memelihara akan mengubahnya menjadi berkat bagi sesama.
Dalam dunia yang lapar akan kasih, baik secara rohani maupun jasmani, peran kita adalah menjadi pembawa kasih Allah. Menjadi saksi hidup bahwa kasih itu tidak pernah berakhir, selalu tersedia, dan mampu memenuhi kelaparan terdalam manusia. Kasih, sebagaimana yang dinyatakan dalam 1 Yohanes 4 dan Markus 6, adalah jawaban atas kebutuhan dunia yang haus akan makna dan pemeliharaan ilahi.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel and Epistles of John. New York: Liturgical Press, 1988.
- Hagner, Donald A. The Jewish Reclamation of Jesus. Grand Rapids: Zondervan, 1984.
- Nouwen, Henri J.M. Life of the Beloved: Spiritual Living in a Secular World. New York: Crossroad Publishing, 1992.