Senin, 20 Januari 2025
Dalam kedua bacaan hari ini, kita menemukan makna yang memanggil setiap hati untuk merenungkan hubungan antara hukum, persembahan, dan panggilan hidup yang baru. Bacaan dari Ibrani 5:1-10 mengisahkan sosok Yesus sebagai Imam Besar yang sempurna, yang menanggung kelemahan manusia dan mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban untuk dosa-dosa dunia. Di sisi lain, Markus 2:18-22 menghadirkan narasi dialogis antara tradisi lama dan pembaruan yang dibawa oleh Kristus, yang berbicara tentang anggur baru dan kantong kulit baru.
Kedua bacaan ini berbicara tentang perubahan paradigma yang mendalam. Dalam Ibrani, kita melihat gambaran Yesus sebagai pemenuh panggilan keimamatan, yang bukan hanya mempersembahkan korban tetapi menjadi korban itu sendiri. Teolog terkenal, Hans Urs von Balthasar, dalam The Glory of the Lord (1982), menyoroti bahwa keimamatan Kristus adalah manifestasi tertinggi dari kasih Allah, yang melampaui batasan ritual dan tradisi manusia. Persembahan Yesus, menurutnya, adalah tindakan radikal yang mempertemukan keadilan ilahi dan belas kasih dalam satu pribadi yang tak bercela.
Markus, di sisi lain, mengundang kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar hukum dan tradisi. Yesus, dalam percakapan tentang puasa, mengungkapkan bahwa kedatangan-Nya membawa sukacita yang melampaui ritual keagamaan. Anggur baru yang disinggung-Nya adalah simbol pembaruan hati dan jiwa manusia. R.T. France, dalam The Gospel of Mark (2002), menjelaskan bahwa perumpamaan Yesus tentang anggur baru adalah undangan kepada pendengarnya untuk membuka diri terhadap karya Allah yang tidak dapat diwadahi oleh struktur lama.
Ketika membaca kedua teks ini, kita diajak untuk merenungkan hubungan antara tradisi dan transformasi. Apakah kita masih terjebak dalam pola-pola lama yang kaku, ataukah kita berani membiarkan diri diubahkan oleh anggur baru kasih Kristus? Teolog Karl Barth, dalam Church Dogmatics (1932), menegaskan bahwa transformasi sejati dalam Kristus adalah proses yang memerlukan keberanian untuk meninggalkan zona nyaman kita, merangkul ketidakpastian, dan hidup dalam kebaruan Roh.
Namun, transformasi ini tidak terjadi tanpa rasa sakit. Ibrani mencatat bahwa Yesus, meski Anak Allah, belajar taat melalui penderitaan-Nya. Ini adalah pesan yang mendalam bagi kita yang sering menghindari penderitaan dalam perjalanan iman. Dalam keheningan doa-Nya di taman Getsemani, Yesus mengajarkan bahwa ketaatan sejati adalah tunduk pada kehendak Allah, bahkan ketika itu berat.
Markus menambahkan dimensi kegembiraan dalam pembaruan ini. Ketika sang mempelai hadir, tidak ada alasan untuk berpuasa. Kehadiran Kristus adalah undangan untuk merayakan kasih Allah yang nyata dan menghidupkan. Sebagaimana ditulis N.T. Wright dalam Simply Jesus (2011), “Dalam Kristus, kita tidak hanya diajak untuk hidup, tetapi untuk hidup dengan penuh sukacita dalam kepenuhan Kerajaan Allah.”
Kedua bacaan ini mengajarkan kita untuk berani meninggalkan pola pikir lama dan menerima tantangan hidup baru di dalam Kristus. Keimamatan-Nya yang sempurna adalah jembatan yang menghubungkan keadilan dan belas kasih Allah, sementara pengajaran-Nya tentang anggur baru memanggil kita untuk hidup dalam kebaruan Roh, penuh dengan sukacita dan harapan.
Daftar Pustaka
- Balthasar, Hans Urs von. The Glory of the Lord. Edinburgh: T&T Clark, 1982.
- Barth, Karl. Church Dogmatics. Edinburgh: T&T Clark, 1932.
- France, R.T. The Gospel of Mark. Grand Rapids: Eerdmans, 2002.
- Wright, N.T. Simply Jesus. New York: HarperOne, 2011.