Semakin terkoneksi, semakin terasing. Kita tampaknya hidup di zaman yang ironis seperti ini. Sebuah masa yang menjadikan keramahan atau hospitalitas kebutuhan mendesak bagi masyarakat. Keramahan bukan sekadar sikap mulia, melainkan sebuah kemampuan dasar untuk menghadapi era yang diwarnai oleh kecepatan informasi dan konektivitas tanpa batas. Namun, di tengah teknologi komunikasi yang semakin canggih, kita justru terjebak dalam paradoks: semakin terkoneksi, semakin terasing. Paus Fransiskus, melalui gagasan “budaya perjumpaan” (cultura del encuentro), menyerukan pembaruan hubungan antarmanusia untuk menyikapi individualisme dan eksklusivitas, sebagaimana tertuang dalam Fratelli Tutti (2020) dan Evangelii Gaudium (2013). Di dunia yang semakin terfragmentasi secara emosional, mampukah praktik hospitalitas tetap bertahan sebagai jembatan menuju perjumpaan yang sejati?
Di sini pemikiran Miroslav Volf dalam Exclusion and Embrace (Nashville: Abingdon Press, 1996) memperkaya diskusi. Volf menguraikan bahwa hospitalitas adalah tindakan radikal untuk membuka diri, ibarat sebuah “pelukan” yang menembus tembok perbedaan. Namun, seperti halnya pelukan yang membutuhkan kepercayaan dan keterbukaan, hospitalitas di dunia modern sering kali menghadapi tantangan besar. Polarisasi politik, prasangka, dan konflik simbolik telah menjadi dinding tak kasatmata yang memisahkan kita. Dalam konteks ini, keramahan sering kali tersisih oleh bentuk penolakan yang lebih halus—seperti menghindari percakapan dengan mereka yang berbeda pandangan atau latar belakang. Namun, sebelum kita berbicara tentang upaya memulihkan nilai-nilai keramahan, penting memahami bagaimana hospitalitas, yang sejatinya menjadi landasan kehidupan bersama, perlahan-lahan mengalami erosi.
Meratapi Erosi Nilai Hospitalitas
Hospitalitas, atau keramahan, secara sederhana merujuk pada penerimaan dan keterbukaan terhadap orang lain, terutama mereka yang dianggap sebagai “yang lain.” KBBI mendefinisikan “ramah” sebagai bersahabat, mudah bergaul, dan menyenangkan. Konsep ini menekankan pentingnya sikap terbuka, di mana kita memiliki tanggung jawab moral memperlakukan setiap orang dengan hormat dan adil. Dalam konteks ini, hospitalitas melibatkan hubungan yang lebih dalam, mencakup percakapan dan saling pengertian di tengah perbedaan. Paus Fransiskus menyoroti pentingnya mengakui kompleksitas dalam menerima orang lain, sementara Volf mengajak kita melawan budaya eksklusi dengan menghidupkan kembali nilai-nilai hospitalitas demi menciptakan ruang yang inklusif dan saling menghargai.
Meskipun nilai-nilai tersebut sangat penting, kenyataan bahwa hilangnya hospitalitas dalam etika publik tidak dapat diabaikan, di mana sikap ramah dan terbuka terhadap orang lain kerap tergantikan oleh narasi eksklusivitas yang dibangun atas klaim superioritas. Ini seperti terlihat pada penolakan pendirian rumah ibadah yang mencerminkan dominasi klaim superioritas religius kelompok tertentu. Ketika seseorang atau kelompok merasa lebih unggul, eksklusi menjadi respons yang “dianggap wajar” bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat interaksi sosial yang sehat, sebagaimana tercermin dalam praktik perundungan atau cyberbullying di media sosial yang banyak memuat serangan verbal dan narasi kebencian.
Di tengah realitas yang penuh dengan ketidakramahan semacam ini, muncul seruan mendesak untuk kembali kepada nilai-nilai hospitalitas yang melampaui sekat-sekat identitas dan superioritas kelompok. Paus Fransiskus, dalam Fratelli Tutti (2020), mengajukan visi persaudaraan universal yang menginspirasi. Dokumen ini menyerukan agar dunia melepaskan diri dari pola pikir yang mengutamakan kepentingan diri atau kelompok di atas solidaritas global. Persaudaraan universal yang ditawarkan Paus Fransiskus adalah sebuah panggilan untuk mengakui martabat setiap manusia sebagai inti dari kehidupan bersama yang adil dan harmonis. Hospitalitas tidak mengenal batas agama, budaya, atau bangsa. Ia juga bukan sekadar pilihan moral, melainkan landasan bagi terciptanya hubungan antarmanusia yang bermakna dan budaya perjumpaan yang sejati.
Menghidupkan Kembali Hospitalitas
Dalam dunia yang semakin tidak ramah seperti ini, menghidupkan kembali hospitalitas bukan hanya sebuah pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Krisis ini tidak dapat diatasi hanya dengan himbauan moral atau seruan idealis, tapi membutuhkan perubahan budaya yang mendalam. Volf mengingatkan, hospitalitas bukan sekadar sikap pasif yang menerima kehadiran orang lain tanpa keterlibatan lebih lanjut. Sebaliknya, hospitalitas adalah tindakan aktif—keberanian membuka ruang bagi percakapan, penerimaan, dan rekonsiliasi di tengah ketegangan yang memisahkan. Sementara itu, Paus Fransiskus menasihatkan akan pentingnya “perjumpaan,” yaitu keterlibatan tulus dengan sesama sebagai cara mengatasi konflik dan membangun kohesi sosial. Hospitalitas, menurut keduanya, adalah akar dari masyarakat yang adil dan beradab.
Lalu, bagaimana hospitalitas dapat dipraktikkan dalam realitas kehidupan sehari-hari? Langkah pertama adalah memastikan nilai-nilai tersebut tertanam sejak dini melalui pendidikan etika publik, di mana kurikulum di sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai penghormatan terhadap keberagaman, empati, dan penerimaan terhadap orang lain apa adanya. Dalam konteks era digital, literasi digital menjadi komponen yang tak kalah penting, dengan generasi muda diundang memahami tanggung jawab berkomunikasi secara etis di media sosial, menjauhi ujaran kebencian, dan mendukung terciptanya dialog yang konstruktif.
Selain pendidikan, kebijakan publik memainkan peran penting dalam menciptakan ruang yang mendorong hospitalitas. Imajinasikan kota-kota yang dirancang tidak hanya untuk mobilitas, tetapi juga untuk interaksi manusia yang bermakna. Taman, ruang publik, dan komunitas inklusif dapat menjadi tempat di mana perjumpaan lintas identitas terjadi. Di tingkat komunitas, program dialog lintas agama, budaya, dan politik perlu menjadi prioritas, menciptakan hubungan yang melampaui perbedaan simbolik.
Menghidupkan kembali hospitalitas membutuhkan lebih dari sekadar tindakan individulistis. Pemerintah perlu mengambil langkah mendorong praktik-praktik ini melalui kebijakan yang mendukung inklusivitas. Hospitalitas bukanlah gagasan utopis yang tidak mungkin dicapai. Ia adalah tindakan nyata yang dimulai dari kehendak untuk melihat orang lain, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari perjalanan bersama. Ketika kita mulai membuka ruang, baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya membangun hubungan yang lebih baik, tetapi juga menjadikan hospitalitas sebagai fondasi bagi masyarakat yang lebih manusiawi dan beradab.