By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Inigo WayInigo WayInigo Way
Notification Show More
Font ResizerAa
  • Home
  • IGNASIANA
    IGNASIANA
    Segala hal tentang spiritualitas ignasia
    Show More
    Top News
    Jangan Bosan, Ya. Paus Sudah Pulang, Tapi Spektrum Tuhan Masih Terus Broadcast
    11 months ago
    Tidak Ada Kata Musuh dalam Kamus Tuhan
    11 months ago
    Paus Tiba di Indonesia dalam Suasana Sederhana
    11 months ago
    Latest News
    Jangan Bosan, Ya. Paus Sudah Pulang, Tapi Spektrum Tuhan Masih Terus Broadcast
    11 months ago
    Melihat Ibuku Seperti Memandang Tuhan yang Tak Pernah Libur
    9 months ago
    Kita Adalah Para Pemancar Tuhan
    11 months ago
    Paus Tiba di Indonesia dalam Suasana Sederhana
    11 months ago
  • IDEA
    IDEAShow More
    Hati Mahakudus Yesus Bukan Monumen Nostalgia
    4 weeks ago
    Pemetaan Tantangan dan Peluang
    1 month ago
    Scrolling Tuhan: Ketika Gen Z Menemukan Injil di Ujung Jari
    1 month ago
    Tambang Nikel di Raja Ampat: Ironi Transisi Energi dan Ancaman terhadap Surga Biodiversitas
    2 months ago
    Komunikasi yang Menyatukan di Dunia yang Terluka
    2 months ago
  • GEREJA SEMESTA
    GEREJA SEMESTAShow More
    Dari Istana ke Jalanan: Kepemimpinan Paus Fransiskus yang Mengakar di Hati Kaum Kecil
    1 month ago
    Kepemimpinan yang Inklusif: Membangun Jembatan di Tengah Perpecahan
    1 month ago
    Leading with an Open Heart: Kepemimpinan Santa Teresa dari Kalkuta untuk Dunia yang Terluka
    1 month ago
    Misi, Martabat, dan Kasih: Kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II sebagai Cermin Pemimpin Kristiani Sejati
    1 month ago
    Menggali Kepemimpinan Perempuan dalam Cahaya Iman: Inspirasi dari Ratu Elizabeth II
    1 month ago
  • KOMUNITAS
    • The Jesuits
    • Paguyuban Sesawi
    • SBS
    KOMUNITAS
    Show More
    Top News
    Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
    4 weeks ago
    Di Gunung Ungaran, Saya Menemukan Tuhan
    2 months ago
    Refleksi Atas Retret Sesawi 2024 di Klaten
    2 months ago
    Latest News
    Keluarga Rohani Bernama Paguyuban Sesawi
    6 days ago
    Diterima Tanpa Syarat, Disapa dengan Kasih
    1 week ago
    Ada Kebahagiaan yang Tak Bisa Dibeli
    1 week ago
    Sesawi, Novisiat yang Tak Pernah Usai
    2 weeks ago
  • Yayasan Sesawi
  • STP Bonaventura
  • KOLOM PENDIDIKAN
    KOLOM PENDIDIKAN
    Show More
    Top News
    Kehadiran dan Kemurahan Hati
    2 months ago
    Menggali Kepemimpinan Perempuan dalam Cahaya Iman: Inspirasi dari Ratu Elizabeth II
    1 month ago
    Latest News
    Menggali Kepemimpinan Perempuan dalam Cahaya Iman: Inspirasi dari Ratu Elizabeth II
    1 month ago
    Kehadiran dan Kemurahan Hati
    2 months ago
Reading: Membangun Masyarakat yang Ramah
Share
Font ResizerAa
Inigo WayInigo Way
  • IGNASIANA
  • IDEA
  • GEREJA SEMESTA
  • YAYASAN SESAWI
  • STP BONAVENTURA
  • KOLOM PENDIDIKAN
Search
  • Home
  • GEREJA SEMESTA
    • Ajaran Gereja
    • Paus
    • Sejarah Gereja
    • Tradisi Gereja
  • IDEA
    • Homili
    • Refleksi
    • Renungan
    • Syair
  • IGNASIANA
    • Latihan Rohani
    • Riwayat Ignatius
    • Sahabat Ignatius
    • Surat-surat Ignatius
  • KOMUNITAS
    • The Jesuits
    • Paguyuban Sesawi
  • Yayasan Sesawi
  • STP Bonaventura
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2024 Inigo Way Network. Sesawi Foundation. All Rights Reserved.
Inigo Way > Petrus Faber > IDEA > Refleksi > Membangun Masyarakat yang Ramah
IDEARefleksi

Membangun Masyarakat yang Ramah

Hospitalitas adalah tindakan radikal untuk membuka diri, ibarat sebuah “pelukan” yang menembus tembok perbedaan.

Dhimas Anugrah
Last updated: January 21, 2025 3:16 pm
By Dhimas Anugrah 6 months ago
Share
7 Min Read
SHARE

Semakin terkoneksi, semakin terasing. Kita tampaknya hidup di zaman yang ironis seperti ini. Sebuah masa yang menjadikan keramahan atau hospitalitas kebutuhan mendesak bagi masyarakat. Keramahan bukan sekadar sikap mulia, melainkan sebuah kemampuan dasar untuk menghadapi era yang diwarnai oleh kecepatan informasi dan konektivitas tanpa batas. Namun, di tengah teknologi komunikasi yang semakin canggih, kita justru terjebak dalam paradoks: semakin terkoneksi, semakin terasing. Paus Fransiskus, melalui gagasan “budaya perjumpaan” (cultura del encuentro), menyerukan pembaruan hubungan antarmanusia untuk menyikapi individualisme dan eksklusivitas, sebagaimana tertuang dalam Fratelli Tutti (2020) dan Evangelii Gaudium (2013). Di dunia yang semakin terfragmentasi secara emosional, mampukah praktik hospitalitas tetap bertahan sebagai jembatan menuju perjumpaan yang sejati?

Di sini pemikiran Miroslav Volf dalam Exclusion and Embrace (Nashville: Abingdon Press, 1996) memperkaya diskusi. Volf menguraikan bahwa hospitalitas adalah tindakan radikal untuk membuka diri, ibarat sebuah “pelukan” yang menembus tembok perbedaan. Namun, seperti halnya pelukan yang membutuhkan kepercayaan dan keterbukaan, hospitalitas di dunia modern sering kali menghadapi tantangan besar. Polarisasi politik, prasangka, dan konflik simbolik telah menjadi dinding tak kasatmata yang memisahkan kita. Dalam konteks ini, keramahan sering kali tersisih oleh bentuk penolakan yang lebih halus—seperti menghindari percakapan dengan mereka yang berbeda pandangan atau latar belakang. Namun, sebelum kita berbicara tentang upaya memulihkan nilai-nilai keramahan, penting memahami bagaimana hospitalitas, yang sejatinya menjadi landasan kehidupan bersama, perlahan-lahan mengalami erosi.

Meratapi Erosi Nilai Hospitalitas

Hospitalitas, atau keramahan, secara sederhana merujuk pada penerimaan dan keterbukaan terhadap orang lain, terutama mereka yang dianggap sebagai “yang lain.” KBBI mendefinisikan “ramah” sebagai bersahabat, mudah bergaul, dan menyenangkan. Konsep ini menekankan pentingnya sikap terbuka, di mana kita memiliki tanggung jawab moral memperlakukan setiap orang dengan hormat dan adil. Dalam konteks ini, hospitalitas melibatkan hubungan yang lebih dalam, mencakup percakapan dan saling pengertian di tengah perbedaan. Paus Fransiskus menyoroti pentingnya mengakui kompleksitas dalam menerima orang lain, sementara Volf mengajak kita melawan budaya eksklusi dengan menghidupkan kembali nilai-nilai hospitalitas demi menciptakan ruang yang inklusif dan saling menghargai.

Meskipun nilai-nilai tersebut sangat penting, kenyataan bahwa hilangnya hospitalitas dalam etika publik tidak dapat diabaikan, di mana sikap ramah dan terbuka terhadap orang lain kerap tergantikan oleh narasi eksklusivitas yang dibangun atas klaim superioritas. Ini seperti terlihat pada penolakan pendirian rumah ibadah yang mencerminkan dominasi klaim superioritas religius kelompok tertentu. Ketika seseorang atau kelompok merasa lebih unggul, eksklusi menjadi respons yang “dianggap wajar” bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat interaksi sosial yang sehat, sebagaimana tercermin dalam praktik perundungan atau cyberbullying di media sosial yang banyak memuat serangan verbal dan narasi kebencian.

Di tengah realitas yang penuh dengan ketidakramahan semacam ini, muncul seruan mendesak untuk kembali kepada nilai-nilai hospitalitas yang melampaui sekat-sekat identitas dan superioritas kelompok. Paus Fransiskus, dalam Fratelli Tutti (2020), mengajukan visi persaudaraan universal yang menginspirasi. Dokumen ini menyerukan agar dunia melepaskan diri dari pola pikir yang mengutamakan kepentingan diri atau kelompok di atas solidaritas global. Persaudaraan universal yang ditawarkan Paus Fransiskus adalah sebuah panggilan untuk mengakui martabat setiap manusia sebagai inti dari kehidupan bersama yang adil dan harmonis. Hospitalitas tidak mengenal batas agama, budaya, atau bangsa. Ia juga bukan sekadar pilihan moral, melainkan landasan bagi terciptanya hubungan antarmanusia yang bermakna dan budaya perjumpaan yang sejati.

Menghidupkan Kembali Hospitalitas

Dalam dunia yang semakin tidak ramah seperti ini, menghidupkan kembali hospitalitas bukan hanya sebuah pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Krisis ini tidak dapat diatasi hanya dengan himbauan moral atau seruan idealis, tapi membutuhkan perubahan budaya yang mendalam. Volf mengingatkan, hospitalitas bukan sekadar sikap pasif yang menerima kehadiran orang lain tanpa keterlibatan lebih lanjut. Sebaliknya, hospitalitas adalah tindakan aktif—keberanian membuka ruang bagi percakapan, penerimaan, dan rekonsiliasi di tengah ketegangan yang memisahkan. Sementara itu, Paus Fransiskus menasihatkan akan pentingnya “perjumpaan,” yaitu keterlibatan tulus dengan sesama sebagai cara mengatasi konflik dan membangun kohesi sosial. Hospitalitas, menurut keduanya, adalah akar dari masyarakat yang adil dan beradab.

Lalu, bagaimana hospitalitas dapat dipraktikkan dalam realitas kehidupan sehari-hari? Langkah pertama adalah memastikan nilai-nilai tersebut tertanam sejak dini melalui pendidikan etika publik, di mana kurikulum di sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai penghormatan terhadap keberagaman, empati, dan penerimaan terhadap orang lain apa adanya. Dalam konteks era digital, literasi digital menjadi komponen yang tak kalah penting, dengan generasi muda diundang memahami tanggung jawab berkomunikasi secara etis di media sosial, menjauhi ujaran kebencian, dan mendukung terciptanya dialog yang konstruktif.

Selain pendidikan, kebijakan publik memainkan peran penting dalam menciptakan ruang yang mendorong hospitalitas. Imajinasikan kota-kota yang dirancang tidak hanya untuk mobilitas, tetapi juga untuk interaksi manusia yang bermakna. Taman, ruang publik, dan komunitas inklusif dapat menjadi tempat di mana perjumpaan lintas identitas terjadi. Di tingkat komunitas, program dialog lintas agama, budaya, dan politik perlu menjadi prioritas, menciptakan hubungan yang melampaui perbedaan simbolik.

Menghidupkan kembali hospitalitas membutuhkan lebih dari sekadar tindakan individulistis. Pemerintah perlu mengambil langkah mendorong praktik-praktik ini melalui kebijakan yang mendukung inklusivitas. Hospitalitas bukanlah gagasan utopis yang tidak mungkin dicapai. Ia adalah tindakan nyata yang dimulai dari kehendak untuk melihat orang lain, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari perjalanan bersama. Ketika kita mulai membuka ruang, baik di media sosial maupun kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya membangun hubungan yang lebih baik, tetapi juga menjadikan hospitalitas sebagai fondasi bagi masyarakat yang lebih manusiawi dan beradab.

You Might Also Like

Pemetaan Tantangan dan Peluang

Nilai Hidup Bukan pada Apa yang Kita Miliki

Kembali ke Cinta Semula

Makna Di Balik Penciptaan Hawa

Manusia Kerap Mencari Tuhan Demi Memenuhi Kebutuhannya, Bukan Karena Cinta

TAGGED:erosi nilaihospitalitasmasyarakat yang ramah
Share This Article
Facebook Twitter Email Print
Share
By Dhimas Anugrah
Penulis adalah Ketua Circles Indonesia (Komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains).
Previous Article Bertindak Melampaui Aturan
Next Article Manna dari Langit Bukan Sekadar Solusi Rasa Lapar
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Keluarga Rohani Bernama Paguyuban Sesawi
  • Diterima Tanpa Syarat, Disapa dengan Kasih
  • Ada Kebahagiaan yang Tak Bisa Dibeli
  • Sesawi, Novisiat yang Tak Pernah Usai
  • Dari Peluh Rumah Tangga, Tumbuhlah Cinta yang Tangguh: Kisah-Kisah Ibu dalam Paguyuban SESAWI

Recent Comments

  1. Mamiek S. on Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
  2. Eugenius Laluur on Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
  3. Berkah on Refleksi 22 Tahun Menjalani Hidup Bersama Seorang Mantan Jesuit
  4. Eugenius Laluur on Pelajaran Pahit dari Kepercayaan yang Salah Tempat
  5. Fidelia on Di Balik Asap Putih, Aku Melihat Diriku
Inigo WayInigo Way
Follow US
© 2024 Inigo Way Network. Member of Yayasan Sesawi and Paguyuban Sesawi. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?