1 Februari 2025
Malam itu, perahu kecil mereka terombang-ambing di tengah danau yang kelam. Angin berteriak seperti roh liar, mencambuk layar yang berderak ketakutan. Ombak naik, tinggi dan garang, mencengkeram lambung perahu seperti raksasa yang hendak menelan mereka. Para murid berteriak, tangan mereka gemetar, wajah mereka pucat oleh ketakutan.
Namun, di tengah badai itu, Yesus tidur.
Keheningan-Nya adalah misteri yang mengusik. Bagaimana mungkin seseorang dapat tertidur ketika perahu hampir tenggelam? Bagaimana mungkin ketenangan ada di tengah kekacauan?
“Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?”
Seruan mereka mengandung kegelisahan yang begitu manusiawi—pertanyaan yang terus menggema sepanjang sejarah manusia. Di saat dunia berguncang, di saat ketidakpastian menggulung seperti ombak besar, kita bertanya hal yang sama: Di manakah Tuhan? Mengapa Dia diam? Apakah Dia tidak peduli?
Namun Yesus bangkit, menatap badai, dan dengan suara yang tak kalah berwibawa dari gelegar petir, Dia berkata,
“Diam! Tenanglah!”
Sekejap, angin pun tunduk. Ombak perlahan menyusut, dan keheningan melingkupi danau. Para murid, yang tadinya ketakutan oleh badai, kini gemetar oleh sesuatu yang lebih besar—kuasa yang mereka belum sepenuhnya mengerti.
“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”
Iman yang Berjalan dalam Kegelapan
Ketakutan para murid mengingatkan kita pada kisah Abraham, seorang pria yang dipanggil untuk berjalan ke negeri yang tidak ia kenal. Ibrani 11:8 mencatat bahwa Abraham taat, meskipun ia tidak tahu ke mana ia pergi.
Bayangkan langkah-langkahnya—pada malam pertama di tanah asing, di bawah bintang-bintang yang asing, dengan suara angin padang gurun yang tidak ia kenal. Bayangkan detik-detik ketika hatinya mungkin bertanya: Benarkah aku harus meninggalkan semua yang kukenal? Benarkah Tuhan akan menyertai aku?
Namun, Abraham berjalan.
Imannya bukan sekadar percaya bahwa Tuhan ada, tetapi percaya bahwa janji-Nya lebih nyata daripada ketidakpastian yang mengelilinginya. Seperti Yesus yang tidur di tengah badai, iman Abraham adalah keheningan di tengah gejolak hati manusia.
John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion (1559), menulis bahwa iman sejati adalah pengandalan diri sepenuhnya kepada Tuhan, bukan hanya dalam keadaan yang nyaman, tetapi juga ketika segala sesuatu terasa gelap. Sementara itu, N.T. Wright dalam Hebrews for Everyone (2004) melihat Ibrani 11 sebagai kisah mereka yang berjalan dalam ketidakpastian, namun tetap percaya bahwa mereka berada di jalan yang benar.
Ketidakpastian, Polarisasi, dan Iman di Era Modern
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian—era disinformasi, polarisasi, dan kegelisahan eksistensial—iman kita sering kali diuji bukan oleh badai fisik, tetapi oleh badai informasi. Seperti para murid di danau, kita panik saat dunia tampak kacau. Seperti Abraham, kita ragu apakah langkah kita benar.
Namun, Yesus yang tidur di tengah badai mengajarkan sesuatu yang radikal: iman bukan tentang melihat hasil instan, tetapi tentang mempercayai bahwa janji Tuhan lebih kuat daripada gelombang yang mengancam kita.
Saat ini, badai mungkin belum reda. Kita mungkin masih berada di dalam perahu yang terombang-ambing. Tetapi satu hal yang pasti: Tuhan ada di sana.
Dia mungkin tampak diam, tetapi Dia tidak pernah meninggalkan kita.
Dan ketika saatnya tiba, dengan suara yang lebih tenang dari bisikan malam, tetapi lebih kuat dari amukan ombak, Dia akan berkata sekali lagi:
“Diam. Tenanglah.”
Daftar Pustaka
- Bultmann, Rudolf. Theology of the New Testament. New York: Charles Scribner’s Sons, 1951.
- Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. London: Henry Beveridge (trans.), 1559.
- Wright, N.T. Hebrews for Everyone. London: SPCK Publishing, 2004.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress Press, 1996.