Sabtu, 8 Februari 2025 – Persembahan Hati dan Gembala yang Berbelas Kasih
Hening merayap dalam kesunyian, saat cahaya senja berpendar di cakrawala. Udara lembut menyapu wajah-wajah yang lelah, langkah-langkah para murid perlahan merapat mendekati Sang Guru. Mereka telah pergi jauh, menapaki jalan berbatu, mengabarkan Kerajaan Allah, menyentuh yang sakit, memberi harapan pada yang hancur. Namun kini, kelelahan menjalari tubuh mereka. Yesus, dengan tatapan penuh kasih, mengundang mereka ke tempat sunyi. “Marilah ke tempat yang sunyi, dan beristirahatlah sejenak.”
Tetapi, ketenangan itu tak bertahan lama. Dari kejauhan, tampak bayang-bayang manusia yang datang berbondong-bondong, wajah-wajah penuh harap yang menghunus kelaparan—bukan sekadar lapar akan roti, tetapi lapar akan makna, akan kepastian yang meneduhkan. Yesus memandang mereka dengan kelembutan yang mendalam, seakan membaca kisah hidup yang mengalir dari setiap mata yang mencari. Mereka seperti domba tanpa gembala, tersesat dalam padang gurun dunia. Maka, Yesus menanggalkan istirahat-Nya dan memilih tetap tinggal, berbicara, mengajarkan kebenaran, merengkuh jiwa-jiwa yang haus akan kehadiran sejati.
Ibrani 13:15-17,20-21 berbicara tentang persembahan yang sejati—bukan dupa yang mengepul di altar atau darah yang tertumpah dalam ritual kuno, tetapi korban pujian yang mengalir dari bibir yang bersyukur dan tangan yang memberi. William L. Lane dalam Hebrews: A Call to Commitment (1991) menegaskan bahwa pujian sejati bukanlah sekadar untaian kata-kata di dalam bait suci, melainkan tindakan nyata dalam keseharian—ketika kita memilih berbagi di saat kekurangan, ketika kita mengulurkan tangan tanpa menimbang balasan.
Dalam Markus 6:30-34, panggilan ini menemukan bentuk yang lebih konkret. Yesus tidak hanya mengajarkan belas kasih, tetapi menjalaninya dengan tubuh dan waktu-Nya. C.H. Dodd dalam The Parables of the Kingdom (1961) menulis bahwa kasih bukan hanya empati dari kejauhan, tetapi kehadiran yang mengorbankan kenyamanan demi yang lain. Ia, Sang Gembala, tidak menolak kawanan yang mencari-Nya, meskipun itu berarti mengorbankan istirahat yang dinantikan.
Kita hidup dalam dunia yang sibuk, yang memuja produktivitas, yang sering kali mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah tentang memiliki, bukan memberi. Tetapi di sinilah panggilan itu menggema: keseimbangan antara diam dan bergerak, antara mengisi dan mengalirkan. Dietrich Bonhoeffer dalam The Cost of Discipleship (1937) mengingatkan bahwa mengikuti Kristus berarti memasuki dinamika kasih yang tidak pernah menimbang untung dan rugi.
Malam semakin larut. Para murid masih terjaga, mungkin di dalam hati mereka bertanya, “Sampai kapan kita harus memberi?” Yesus hanya tersenyum, dan dalam keheningan yang suci, tangan-Nya membagikan roti. Sebuah pengingat bahwa dalam memberi, kita dikuatkan. Dalam melayani, kita sendiri direngkuh oleh kasih yang lebih besar. Biarlah doa penulis Ibrani menjadi nyata: “Kiranya Allah damai sejahtera memperlengkapi kamu dengan segala yang baik untuk melakukan kehendak-Nya” (Ibr. 13:21). Sebab, di dalam cinta yang terus mengalir, di sanalah kita menemukan istirahat yang sejati.
Daftar Pustaka
- Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. New York: Macmillan, 1937.
- Dodd, C.H. The Parables of the Kingdom. London: Collins, 1961.
- Lane, William L. Hebrews: A Call to Commitment. Grand Rapids: Eerdmans, 1991.