Selasa, 18 Februari 2025
Dalam kegelapan dunia yang penuh kejahatan, Tuhan memandang bumi dengan kepedihan yang mendalam. Dia tampak muram (Kejadian 6:5-8) melihat bagaimana hati manusia cenderung mengarah pada kejahatan, sehingga Tuhan menyesal telah menciptakan mereka. Namun, di tengah kemurkaan, ada satu sosok yang beroleh kasih karunia: Nuh. Seperti bintang kecil di langit malam, ia tetap bercahaya dalam kegelapan zaman. Di sinilah kisah pembaruan dimulai—sebuah kisah tentang pemurnian, tentang harapan yang tersisa di tengah kehancuran.
Ketika Tuhan akhirnya mendatangkan air bah (Kejadian 7:1-5, 10) itu bukan sekadar hukuman, tetapi juga kesempatan bagi dunia untuk dilahirkan kembali. Walter Brueggemann dalam “Genesis: Interpretation” (1982) menyebut peristiwa ini sebagai “tindakan dekonstruksi dan rekonstruksi ilahi.” Tuhan tidak hanya menghancurkan dunia yang bobrok, tetapi juga mempersiapkan fondasi baru bagi perjanjian dengan manusia. Nuh dan keluarganya menjadi benih kehidupan baru, yang dibawa mengarungi lautan kekacauan menuju tanah yang dijanjikan.
Di sisi lain, dalam Markus 8:14-21, Yesus berbicara kepada para murid yang gagal memahami makna roti yang dilipatgandakan. Mereka khawatir karena tidak membawa cukup bekal, tetapi Yesus menegur mereka dengan pertanyaan retoris: “Mengapa kamu mempercakapkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu mengerti dan mengerti?” (Mrk. 8:17). Di sini, Yesus mengundang mereka untuk melampaui ketakutan manusiawi dan melihat dengan mata iman.
NT Wright dalam “Jesus and the Victory of God” (1996) menegaskan bahwa kebutaan para murid mencerminkan kebutaan spiritual Israel. Sama seperti orang-orang zaman Nuh yang tidak menyadari kehancuran yang mendekat, para murid juga belum menangkap misteri kehadiran Yesus. Mereka berdiri di hadapan sumber kehidupan, namun masih terjebak dalam kecemasan duniawi.
Menarik jika kita melihat Kejadian dan Markus dalam satu tarikan napas: air bah dan kebutaan murid-murid, dua gambaran dari hati manusia yang sering kali gagal memahami kehendak Tuhan. Nuh percaya dan berjalan dalam iman di tengah dunia yang rusak, sementara para murid masih bergumul dengan ketidakpercayaan meski telah melihat mukjizat. Namun, seperti Tuhan menyelamatkan Nuh dari kegelapan zaman, Yesus juga menuntun murid-muridnya dari kebutaan menuju pemahaman sejati.
Henri Nouwen dalam “The Inner Voice of Love” (1996) menulis bahwa perjalanan iman adalah perjalanan melewati badai, tetapi di dalam setiap badai, ada suara lembut yang memanggil kita untuk percaya. Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaan-Nya. Bahkan ketika air bah menutupi bumi, bahtera keselamatan tetap berlayar. Bahkan ketika hati manusia tertutup, Yesus tetap berusaha membuka mata kita untuk melihat terang kasih-Nya.
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, Walter. Genesis: Interpretation. Atlanta: John Knox Press, 1982.
- Nouwen, Henri. The Inner Voice of Love. New York: Doubleday, 1996.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress Press, 1996.