Dalam perjalanan sejarah umat manusia, konflik dan balas dendam sering kali menjadi lingkaran yang sulit diputus. Namun, bacaan hari ini membawa kita pada suatu permenungan mendalam tentang belas kasih, kerendahan hati, dan panggilan untuk hidup sebagai manusia yang mencerminkan citra Allah.
Dalam 1 Samuel 26, kita menemukan kisah Daud yang memiliki kesempatan emas untuk menghabisi Saul, musuh yang mengincar nyawanya. Tetapi, alih-alih membalas kejahatan dengan kejahatan, Daud memilih untuk menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dengan berkata, “Siapa yang dapat menjamah orang yang diurapi Tuhan dan bebas dari hukuman?” (1 Samuel 26:9). Di sini, Daud menunjukkan sikap yang melampaui naluri manusiawi—ia mengampuni dan mempercayakan keadilan kepada Allah. Tindakan ini mencerminkan bahwa belas kasih bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang lahir dari iman yang mendalam.
Paulus dalam 1 Korintus 15:45-49 kemudian membawa kita ke dimensi yang lebih luas, membandingkan Adam pertama dengan Adam terakhir, yakni Kristus. Adam pertama, sebagai manusia duniawi, mencerminkan keberadaan kita yang lemah dan terbatas, sementara Kristus sebagai Adam terakhir membawa kehidupan yang baru dan kekal. Sebagaimana kita pernah membawa citra manusia yang berasal dari debu, kita juga dipanggil untuk mengenakan citra manusia sorgawi, yaitu Kristus. Dalam terang ini, tindakan Daud menjadi sebuah gambaran bagaimana manusia, dalam kelemahannya, dapat berpartisipasi dalam rencana keselamatan Allah dengan memilih jalan kasih dan pengampunan.
Kemudian, dalam Lukas 6:27-38, Yesus memberikan ajaran yang radikal: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.” Kata-kata ini bukan hanya teori spiritual, melainkan panggilan konkret untuk menghidupi belas kasih seperti yang dilakukan Daud dan, lebih sempurnanya, seperti yang ditunjukkan Kristus sendiri di kayu salib. Pengampunan dan kasih kepada musuh bukan sekadar perbuatan moral yang mulia, tetapi adalah karakter Allah sendiri yang kita panggil untuk miliki.
Teolog N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God (1996) menekankan bahwa pengajaran Yesus tentang kasih dan pengampunan bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan sebuah tindakan aktif yang mengubah dunia. Sementara itu, C.S. Lewis dalam Mere Christianity (1952) mengingatkan bahwa mengasihi musuh tidak berarti menyetujui kejahatan mereka, tetapi memilih untuk tidak membiarkan kebencian menguasai hati kita.
Refleksi dari ketiga bacaan ini membawa kita pada satu kesimpulan mendalam: kita dipanggil untuk hidup dalam kasih yang melampaui batas manusiawi kita. Kita tidak hanya dipanggil untuk sekadar menjadi baik, tetapi untuk mencerminkan citra Allah dalam sikap belas kasih, pengampunan, dan kemurahan hati. Seperti Daud yang memilih untuk tidak membalas dendam, seperti Paulus yang mengajak kita mengenakan citra Kristus, dan seperti Yesus yang mengajarkan kasih tanpa syarat—kita diajak untuk melangkah dalam jejak belas kasih yang tidak berkesudahan.
Daftar Pustaka:
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress Press, 1996.
- Lewis, C.S. Mere Christianity. London: HarperCollins, 1952.
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. New York: Doubleday, 1997.
- Barclay, William. The Gospel of Luke. Edinburgh: Saint Andrew Press, 1975.