JUMAT, 28 FEBRUARI 2025
Persahabatan sejati adalah permata yang tak ternilai. Dalam Sirakh 6:5-17, kita diajak untuk merenungkan makna persahabatan yang sejati—bukan sekadar hubungan yang rapuh dan sementara, tetapi ikatan yang teruji oleh waktu dan kesetiaan. Hikmat mengajarkan bahwa sahabat sejati adalah pelindung yang kokoh, lebih berharga dari emas dan perak. Namun, persahabatan sejati tidak datang begitu saja; ia harus diuji oleh kesabaran, ketulusan, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Sahabat sejati adalah mereka yang tetap tinggal saat badai menerpa, yang menguatkan kita dalam kesulitan, dan menuntun kita menuju kebaikan.
Di sisi lain, Injil Markus 10:1-12 membawa kita pada percakapan antara Yesus dan orang-orang Farisi tentang pernikahan dan perceraian. Yesus menegaskan bahwa sejak awal penciptaan, Allah merancang pernikahan sebagai kesatuan yang kudus, ikatan yang tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Pernikahan bukan hanya kontrak sosial, melainkan perjanjian cinta yang mencerminkan kasih Allah bagi umat-Nya. Dalam kesetiaan pasangan suami-istri, kita menemukan gambaran kasih yang sabar, rela berkorban, dan tanpa syarat.
Jika kita merenungkan dua bacaan ini bersama, kita menemukan benang merah yang indah: baik dalam persahabatan maupun pernikahan, kesetiaan adalah kunci. Dunia yang kita hidupi saat ini sering kali mengagungkan hubungan yang serba instan dan mudah pudar. Namun, hikmat kuno mengajarkan bahwa ikatan sejati lahir dari pengorbanan, komitmen, dan kasih yang tidak lekang oleh waktu. Seperti sahabat sejati yang ditemukan melalui perjalanan panjang dan penuh ujian, begitu pula pernikahan yang kokoh hanya dapat bertahan dengan kesetiaan dan kasih yang terus diperbarui.
Raymond Brown dalam “An Introduction to the New Testament” (1997) menekankan bahwa ajaran Yesus tentang pernikahan bukan sekadar aturan moral, tetapi undangan untuk memahami kasih Allah yang tak terpisahkan dari umat-Nya. Sementara itu, William Barclay dalam “The Gospel of Mark” (1975) menggarisbawahi bahwa kesetiaan dalam hubungan manusia mencerminkan kesetiaan Tuhan kepada kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali tergoda untuk mengutamakan kenyamanan pribadi dibandingkan komitmen yang mendalam. Tetapi Yesus mengingatkan kita bahwa kasih sejati bukanlah tentang mencari yang mudah, melainkan tentang kesediaan untuk bertahan, membangun, dan merawat hubungan dengan sepenuh hati. Apakah kita bersedia menjadi sahabat sejati bagi sesama? Apakah kita bersedia menjalani komitmen dengan kasih yang bertahan dalam segala keadaan?
Semoga kita semakin dimampukan untuk menjalani persahabatan dan pernikahan dengan hati yang penuh kasih, setia dalam perjalanan yang telah Tuhan tetapkan.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. New York: Doubleday, 1997.
- Barclay, William. The Gospel of Mark. Philadelphia: Westminster Press, 1975.