Minggu, 16 Maret 2025
Di tengah malam yang sunyi, Abram menatap langit yang dipenuhi bintang. Suara Tuhan bergema dalam hatinya: “Lihatlah ke langit dan hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya. Demikianlah banyaknya keturunanmu.” (Kejadian 15:5). Namun, janji ini terasa mustahil. Usianya telah lanjut, dan keturunan yang dijanjikan belum juga tiba.
Tuhan kemudian mengadakan perjanjian dengan Abram. Dalam ritual yang sarat makna, hewan-hewan korban dibelah, dan kegelapan pekat menyelimuti Abram. Ketakutan menyergapnya, namun Tuhan hadir dalam nyala api yang melintasi korban itu. Ini adalah momen penting: Tuhan mengikat janji kekal, bukan berdasarkan kekuatan Abram, melainkan kasih setia-Nya sendiri.
The Anchor Bible Commentary (Sarna, 1989) menafsirkan kegelapan yang melingkupi Abram sebagai simbol dari perjalanan iman yang penuh ujian. Ketika janji Tuhan tampak jauh, iman diuji dalam keheningan dan ketidakpastian.
Dari janji kepada Abram, kita berpindah ke nasihat Paulus kepada jemaat di Filipi: “Banyak orang hidup sebagai seteru salib Kristus… Tetapi kewargaan kita adalah di dalam surga.” (Filipi 3:18,20). Paulus mengingatkan bahwa hidup orang percaya tidak berpusat pada kesenangan duniawi, tetapi pada harapan akan transformasi yang sejati dalam Kristus.
Dalam The Epistle to the Philippians (Fee, 1995), dijelaskan bahwa Paulus menggunakan bahasa kewargaan untuk menunjukkan bahwa identitas sejati orang percaya bukanlah pada dunia ini, tetapi di dalam Kerajaan Allah. Ini adalah panggilan untuk mengarahkan hati kepada yang kekal, bukan yang fana.
Perjalanan iman adalah ziarah menuju kemuliaan sejati. Seperti Abram yang menunggu penggenapan janji, kita juga diajak untuk tetap teguh dalam pengharapan, bahkan ketika dunia menawarkan kepuasan yang cepat tetapi semu.
Kemuliaan sejati itu tersingkap dalam peristiwa transfigurasi Yesus di atas gunung (Lukas 9:28b-36). Yesus berubah rupa, wajah-Nya bersinar, dan pakaian-Nya berkilau. Musa dan Elia hadir, berbicara tentang perjalanan-Nya menuju Yerusalem, tentang salib yang akan Ia pikul.
Petrus, dalam keterkejutannya, ingin mendirikan kemah. Namun, awan turun, dan suara Bapa terdengar: “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” (Lukas 9:35). Momen ini adalah pewahyuan ilahi yang menegaskan bahwa kemuliaan sejati tidak dapat dipisahkan dari jalan salib.
Dalam Jesus and the Eyewitnesses (Bauckham, 2006), dijelaskan bahwa transfigurasi adalah gambaran eskatologis tentang kemuliaan Kristus yang akan datang. Namun, ini bukan hanya sekadar visi masa depan, tetapi juga penguatan bagi para murid untuk menghadapi penderitaan yang akan datang.
Transfigurasi adalah momen singkat, tetapi perjalanan sejati dimulai ketika mereka turun dari gunung. Ini mengajarkan bahwa pengalaman ilahi tidak dimaksudkan untuk dinikmati sendiri, tetapi untuk memperkuat langkah dalam menjalani kehidupan.
Seperti Abram yang berjalan dalam iman, seperti Paulus yang menyerukan arah hidup kepada surga, dan seperti para murid yang menyaksikan kemuliaan Yesus tetapi tetap harus turun kembali ke dunia nyata, kita semua dipanggil untuk hidup dalam iman. Dalam terang janji, dalam bayang salib, dan dalam pengharapan akan kemuliaan sejati.
Kita telah melihat bintang-bintang di malam Abram, mendengar panggilan Paulus, dan menyaksikan cahaya di gunung transfigurasi. Sekarang, saatnya berjalan dalam iman, mendengarkan suara Tuhan, dan menanti kemuliaan yang akan dinyatakan sepenuhnya dalam Kristus.
Referensi
- Bauckham, Richard. Jesus and the Eyewitnesses. Eerdmans, 2006.
- Fee, Gordon D. The Epistle to the Philippians. Eerdmans, 1995.
- Sarna, Nahum M. The Anchor Bible Commentary: Genesis. Doubleday, 1989.