SABTU, 22 MARET 2025
Allah yang Maharahim adalah tema utama yang menghubungkan Mikha 7:14-15,18-20 dan Lukas 15:1-3,11-32. Dalam kitab Mikha, sang nabi memohon agar Allah kembali menggembalakan umat-Nya, seperti di masa lampau, dengan kasih setia yang tak berkesudahan. Ia mengagungkan Allah yang tidak menyimpan murka selamanya, melainkan berkenan menunjukkan belas kasih-Nya. Gambaran ini mencapai puncaknya dalam perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang, di mana kasih Bapa melampaui segala bentuk kegagalan manusia.
Mikha menulis dalam konteks kehancuran Yehuda akibat ketidaksetiaan umat. Namun, di tengah hukuman itu, ada janji pemulihan. Allah akan kembali menggembalakan umat-Nya dengan tangan yang penuh kuasa, sebagaimana Ia membebaskan Israel dari Mesir. Pengampunan-Nya lebih besar daripada dosa mereka. Perumpamaan Yesus dalam Injil Lukas menyempurnakan gambaran ini dengan menampilkan seorang ayah yang penuh belas kasih, yang berlari menyongsong anaknya yang hilang. Ayah ini melambangkan Allah sendiri, yang tidak menuntut balasan sebelum mengampuni, melainkan mengasihi lebih dahulu.
Kisah anak yang hilang bukan hanya tentang si bungsu yang pergi dan kembali, tetapi juga tentang sang kakak yang tidak memahami kedalaman belas kasih ayahnya. Seperti Israel dalam sejarahnya, anak sulung merasa telah setia dan pantas mendapatkan penghargaan, tetapi ia gagal mengerti bahwa kasih Allah bukan tentang kelayakan, melainkan kemurahan hati. Di sinilah pesan Mikha dan Lukas bertemu: Allah memilih mengasihi, bukan menghukum; Ia menenggelamkan dosa ke dasar laut, bukan menghitungnya (Mi. 7:19).
Dalam The Prodigal God (2008), Timothy Keller menyoroti bahwa kedua anak dalam perumpamaan Yesus sesungguhnya sama-sama terhilang: yang satu menjauh secara fisik, yang lain menjauh secara hati. Mereka sama-sama membutuhkan kasih sang Bapa. Sementara itu, dalam Jesus Through Middle Eastern Eyes (2008), Kenneth E. Bailey mengungkapkan bahwa tindakan ayah berlari menyambut anaknya adalah gestur luar biasa dalam budaya Timur Tengah, di mana seorang patriark tidak akan mempermalukan dirinya sendiri dengan berlari. Hal ini menunjukkan betapa radikalnya kasih Allah—Ia menanggung rasa malu demi menyelamatkan anak-Nya.
Pesan dua bacaan ini adalah ajakan untuk memahami kasih dan pengampunan Allah yang melampaui logika manusia. Apakah kita berani menerima pengampunan-Nya, seperti si bungsu yang kembali dengan rendah hati? Ataukah kita tetap terperangkap dalam keangkuhan seperti sang sulung, yang merasa lebih layak? Tuhan tidak menunggu kita sempurna untuk mengasihi, Ia telah lebih dulu berlari menyambut kita.
Daftar Pustaka:
- Bailey, Kenneth E. Jesus Through Middle Eastern Eyes. IVP Academic, 2008.
- Keller, Timothy. The Prodigal God. Dutton, 2008.
- Limburg, James. Hosea–Micah. Interpretation Commentary Series, Westminster John Knox Press, 2010.
- Nolland, John. Luke 9:21–18:34. Word Biblical Commentary, 1993.