SENIN, 24 MARET 2025
Naaman adalah seorang panglima besar yang berjaya, tetapi di balik kegemilangannya, ia menyimpan luka tersembunyi—penyakit kusta yang merongrong tubuhnya. Dalam pencarian kesembuhan, ia datang kepada nabi Elisa, yang memberikan perintah sederhana: mandi tujuh kali di Sungai Yordan. Naaman, yang terbiasa dengan kemegahan, awalnya merasa diremehkan. Bagaimana mungkin kesembuhan diperoleh dengan cara yang begitu biasa? Namun, dalam ketaatan dan kerendahan hati, ia akhirnya menerima mukjizat Tuhan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kesembuhan tidak selalu datang melalui cara yang megah, melainkan dalam ketaatan dan iman yang sederhana.
Mazmur 42 dan 43 mencerminkan kerinduan jiwa yang haus akan Allah. Pemazmur mengungkapkan kegelisahan dan kepedihan batin karena merasa jauh dari Tuhan, tetapi tetap berharap akan terang dan kebenaran-Nya. Ini adalah gambaran perjalanan rohani manusia yang sering kali merasa tersesat, tetapi tetap merindukan kehadiran Tuhan yang menyelamatkan. Dalam masa Prapaskah, kita diajak untuk merefleksikan apakah jiwa kita masih merindukan Allah dengan sedalam-dalamnya, seperti rusa yang merindukan air.
Yesus, dalam Lukas 4, mengingatkan orang-orang di Nazaret bahwa mukjizat dan rahmat Tuhan tidak hanya diberikan kepada mereka yang merasa berhak, tetapi juga kepada mereka yang terbuka untuk menerimanya. Ia mengingatkan tentang Naaman, seorang asing, yang justru mengalami penyembuhan karena ketaatannya. Peringatan ini menimbulkan kemarahan di antara pendengar-Nya, yang merasa bahwa mereka sebagai umat pilihan seharusnya lebih diistimewakan. Namun, justru dalam keterbukaan hati dan kesediaan untuk menerima kasih karunia tanpa merasa berhak, mukjizat itu terjadi.
Refleksi dari bacaan-bacaan ini berbicara tentang kerendahan hati, iman, dan keterbukaan terhadap kehendak Tuhan. Naaman harus belajar bahwa kesembuhan bukan soal status atau kekuatan, melainkan tentang ketaatan yang sederhana. Pemazmur mengajarkan bahwa dalam kehausan rohani, kita harus mencari Tuhan dengan segenap hati. Sementara itu, Yesus menunjukkan bahwa rahmat Tuhan tidak terbatas pada satu kelompok saja, tetapi kepada siapa pun yang dengan rendah hati menerimanya.
Dalam “Old Testament Theology: Israel’s Faith” (2007), John Goldingay menegaskan bahwa kisah Naaman menggambarkan bagaimana anugerah Allah tidak terikat pada batas etnis atau nasionalitas, tetapi pada respons manusia terhadap panggilan iman. Sementara itu, dalam “The Gospel of Luke” (1997), Joel B. Green menjelaskan bahwa perikop Lukas 4 merupakan sebuah kritik terhadap eksklusivisme agama, yang sering kali menghambat seseorang untuk mengalami kasih karunia Tuhan.
Masa Prapaskah mengajak kita untuk bertanya: apakah kita seperti Naaman yang awalnya enggan tetapi akhirnya taat? Apakah kita seperti pemazmur yang merindukan Tuhan dalam setiap langkah hidup kita? Ataukah kita seperti orang-orang Nazaret yang merasa lebih berhak atas rahmat Tuhan dibandingkan orang lain? Inilah waktu untuk merendahkan hati, menanggalkan kesombongan, dan membuka diri terhadap kasih karunia yang Tuhan sediakan. Keselamatan tidak datang kepada mereka yang merasa berhak, tetapi kepada mereka yang bersedia menerimanya dengan hati yang penuh iman.
Daftar Pustaka:
- Goldingay, John. Old Testament Theology: Israel’s Faith. IVP Academic, 2007.
- Green, Joel B. The Gospel of Luke. Eerdmans, 1997.
- Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Fortress Press, 1997.
- Fitzmyer, Joseph A. The Gospel According to Luke I-IX. Yale University Press, 1981.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.