RABU, 26 MARET 2025
Di sepanjang sejarah iman, umat manusia selalu mencari kepastian tentang bagaimana mereka harus hidup di hadapan Allah. Pertanyaan ini bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga eksistensial: apakah ada aturan yang membimbing kita dalam mencapai kebahagiaan sejati? Bacaan-bacaan hari ini membawa kita kepada sebuah jawaban yang jelas: Hukum Tuhan bukanlah beban, melainkan terang yang menuntun manusia kepada kehidupan yang penuh berkat.
Kitab Ulangan menampilkan Musa yang berbicara kepada bangsa Israel menjelang masuknya mereka ke Tanah Perjanjian. “Maka sekarang, hai Israel, dengarkanlah ketetapan dan peraturan yang aku ajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu” (Ul. 4:1). Perintah-perintah Allah diberikan bukan untuk mengekang, tetapi agar mereka hidup. Ahli tafsir Richard D. Nelson dalam Deuteronomy: A Commentary (2002) menjelaskan bahwa hukum dalam Ulangan bukan sekadar daftar perintah, melainkan wujud perjanjian kasih antara Tuhan dan umat-Nya. Ketaatan kepada hukum adalah bentuk respons terhadap kasih Allah, bukan tuntutan legalistik yang kaku.
Mazmur 147 memperdalam pemahaman ini dengan menggambarkan kebesaran Tuhan yang memberikan firman-Nya sebagai anugerah. “Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada Israel” (Mzm. 147:19). Hukum Tuhan tidak diberikan kepada semua bangsa, tetapi kepada umat pilihan. Mazmur ini mengungkapkan suatu keistimewaan: Tuhan sendiri yang mendidik umat-Nya melalui firman-Nya. Dalam tafsirnya, James L. Mays dalam Psalms: Interpretation Commentary (1994) menekankan bahwa firman Allah bukan hanya sesuatu yang harus ditaati, tetapi juga sebuah sumber kehidupan yang memelihara dan membentuk identitas umat-Nya.
Namun, bagaimana hukum Allah dipahami di zaman Yesus? Dalam Injil Matius, Yesus berkata, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Ini adalah pernyataan yang kuat, yang menegaskan bahwa hukum Allah tidak pernah kehilangan relevansinya. Tetapi bagaimana Yesus menggenapi hukum? Dalam karyanya Jesus and the Victory of God (1996), N.T. Wright menjelaskan bahwa Yesus tidak mengubah hukum Taurat dengan cara membatalkannya, melainkan membawanya kepada maksud yang lebih dalam: bukan sekadar aturan eksternal, tetapi hukum yang tertulis di dalam hati manusia.
Ketaatan kepada hukum Tuhan dalam terang Kristus bukanlah sekadar kepatuhan buta terhadap aturan, tetapi suatu panggilan untuk hidup dalam kasih dan keadilan. Bagi Yesus, hukum yang sejati bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi tentang bagaimana hati manusia ditransformasikan oleh kasih Allah.
Dalam dunia modern yang sering kali mempertanyakan relevansi hukum moral dan nilai-nilai spiritual, sabda Yesus hari ini adalah panggilan untuk kembali kepada inti iman: bukan sekadar menaati perintah, tetapi menghidupi hukum Tuhan dalam cinta dan belas kasih. Kita diajak untuk tidak hanya membaca firman Tuhan, tetapi menjadikannya bagian dari hidup kita, mengajarkannya kepada anak-anak kita, dan mewujudkannya dalam tindakan kasih kepada sesama.
Ketaatan kepada hukum Tuhan bukanlah beban, tetapi anugerah. Hukum-Nya adalah terang yang membimbing langkah kita dalam perjalanan menuju kebahagiaan sejati. Maka, di tengah tantangan zaman ini, marilah kita kembali merenungkan bagaimana hukum Tuhan hidup dalam diri kita: apakah kita menghidupinya dengan sukacita? Apakah firman-Nya menjadi cahaya bagi langkah-langkah kita? Sebab sebagaimana dinyatakan Yesus, mereka yang setia pada perintah-perintah Tuhan akan disebut besar dalam Kerajaan Surga.
Daftar Pustaka:
- Mays, James L. Psalms: Interpretation Commentary. Westminster John Knox Press, 1994.
- Nelson, Richard D. Deuteronomy: A Commentary. Westminster John Knox Press, 2002.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.