SABTU, 29 MARET 2025
Di tengah perjalanan spiritual manusia, selalu ada pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita berdiri di hadapan Allah. Bacaan hari ini membawa kita pada refleksi mendalam tentang pertobatan sejati, kerendahan hati, dan belas kasih Allah yang melampaui ritual dan persembahan lahiriah.
Kitab Hosea membuka jalan bagi kita untuk memahami makna pertobatan yang sejati. “Marilah kita berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita” (Hos. 6:1). Kata-kata ini bukan hanya seruan untuk kembali kepada Allah setelah mengalami hukuman, tetapi juga sebuah pengakuan akan kasih setia Tuhan yang tetap ada meskipun umat-Nya sering berkhianat. Namun, Allah tidak menghendaki pertobatan yang dangkal, sekadar ucapan bibir atau ritual kosong. Hosea melanjutkan dengan teguran tajam: “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah lebih daripada korban-korban bakaran” (Hos. 6:6). Ayat ini menggema dalam seluruh tradisi kenabian Israel yang menekankan bahwa relasi dengan Allah bukanlah soal aturan kaku, melainkan soal hati yang penuh kasih dan ketaatan sejati.
Mazmur 51 menggemakan tema ini dalam nada yang sangat personal dan emosional. “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar” (Mzm. 51:3). Mazmur ini diyakini merupakan doa pertobatan Raja Daud setelah dosanya dengan Batsyeba, dan menjadi model klasik bagi setiap jiwa yang ingin kembali kepada Tuhan. Tidak ada penghiburan dalam kekuatan manusia sendiri, tidak ada jaminan dalam ritual lahiriah jika hati tetap membatu. Allah menghendaki “hati yang remuk redam” (Mzm. 51:19), bukan hanya korban persembahan.
Gambaran tentang hati yang remuk redam ini diperjelas dalam Injil Lukas melalui perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14). Yesus berbicara kepada mereka yang menganggap diri benar dan merendahkan orang lain. Orang Farisi dalam perumpamaan ini berdoa dengan penuh kebanggaan atas amal ibadahnya, sementara pemungut cukai hanya menundukkan kepala dan berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk. 18:13). Perumpamaan ini mengungkapkan paradoks ilahi: justru orang yang merasa tidak layak dan datang dengan kerendahan hati, dialah yang dibenarkan oleh Allah. Seperti dijelaskan oleh Joachim Jeremias dalam The Parables of Jesus (1972), perumpamaan ini bukan sekadar perbandingan antara dua individu, melainkan kritik mendalam terhadap sikap religius yang berakar pada kesombongan dan legalisme.
Dalam konteks zaman modern, refleksi ini menantang kita untuk memeriksa kembali relasi kita dengan Allah. Apakah kita datang kepada-Nya dengan hati yang terbuka dan rendah hati, atau kita masih terjebak dalam kebanggaan akan kesalehan kita sendiri? Seperti yang dikatakan oleh N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God (1996), “Kerajaan Allah bukanlah tentang siapa yang memiliki ritual paling sempurna, tetapi tentang siapa yang paling terbuka menerima kasih dan belas kasihan-Nya.”
Pertobatan sejati bukanlah sekadar kembali ke Tuhan dalam keadaan terdesak, melainkan sebuah perjalanan hati yang terus-menerus dibentuk oleh kasih setia-Nya. Kerendahan hati, seperti yang ditunjukkan pemungut cukai, bukan hanya sikap sesaat dalam doa, tetapi cara hidup yang sepenuhnya bergantung pada Allah. Dan di sanalah, dalam kehancuran dan pengakuan dosa, kasih Allah menyembuhkan dan mengangkat manusia ke dalam pelukan-Nya yang penuh belas kasih.
Daftar Pustaka:
- Jeremias, Joachim. The Parables of Jesus. Charles Scribner’s Sons, 1972.
- Wright, N.T. Jesus and the Victory of God. Fortress Press, 1996.
- Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Fortress Press, 1978.
- Fitzmyer, Joseph A. The Gospel According to Luke X-XXIV. Yale University Press, 1985.