SENIN, 07 APRIL 2025
Dalam hiruk pikuk dunia yang gemar mengadili, kisah dari Daniel 13 dan Yohanes 8 hadir sebagai panggilan untuk merenungi ulang cara kita memandang kebenaran, keadilan, dan belas kasih. Perempuan yang terperangkap dalam kesunyian penghakiman, baik Susana dalam kitab Daniel maupun perempuan yang tertangkap basah berbuat zina dalam Injil Yohanes, menghadirkan wajah manusia yang rentan, namun justru di situlah kehadiran Tuhan menyingkapkan dirinya sebagai pembela kehidupan.
Kisah Susana dalam Daniel 13 seperti drama keadilan yang direnggut oleh kuasa penuh tipu daya. Dua tua-tua, simbol kebijaksanaan yang rusak, menodai peran mereka sebagai penjaga kebenaran. Dengan licik mereka menyusun fitnah, mencoba menjadikan Susana korban hasrat dan kesombongan mereka. Namun Susana berdiri teguh, memilih mati dalam kebenaran daripada hidup dalam kebohongan. Ia berdoa dalam diam, dan dari diam itulah Tuhan mengutus Daniel, seorang muda yang hatinya peka pada suara kebenaran yang ditekan.
Bacaan ini beresonansi kuat dengan Mazmur 23 yang menyuarakan pengharapan mendalam: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” Doa Susana adalah gema dari mazmur ini—tangisan batin yang menembus langit, memanggil Tuhan untuk menjadi gembala ketika para pemimpin dunia menjadi serigala. Dalam tafsir Ignatius Press (2005), bagian ini sering dibaca sebagai lambang dari perjuangan orang benar dalam dunia yang korup, sebuah tema yang terus berulang dalam sejarah manusia.
Kemudian, kita dibawa ke Injil Yohanes, bab 8, saat Yesus menunduk dan menulis di tanah. Perempuan itu, diseret ke hadapan-Nya, menjadi simbol manusia yang kehilangan suara, sementara para ahli Taurat dan orang Farisi memainkan peran penguasa moral. Tetapi Yesus, dalam tindakan yang sangat manusiawi dan ilahi sekaligus, tidak menjawab dengan kata-kata tajam. Ia menggores tanah, seolah menulis ulang hukum bukan di atas batu, tapi di debu—rapuh, mudah hilang, namun mencerminkan kenyataan manusia. Santo Agustinus dari Hippo pernah menafsirkan tindakan Yesus ini sebagai “penulisan ulang hukum dengan belas kasih” (Confessions, 397 AD), di mana hukum menemukan jiwanya kembali dalam kasih.
Lalu Yesus berdiri dan berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu.” Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan pemanggilan hati nurani yang paling dalam. Semua pergi. Yang tertinggal hanyalah dua pribadi: Yesus dan perempuan itu. Dalam keheningan itu, tercipta ruang rahmat. Tidak ada lagi penonton, tidak ada penghakiman, hanya wajah Tuhan yang memulihkan.
Dalam kedua kisah ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pengadilan dunia sering dibangun atas dasar kekuasaan, bukan kebenaran. Tetapi Tuhan, seperti terlihat dalam tindakan Daniel dan Yesus, selalu berpihak pada mereka yang tak bersuara, yang disingkirkan, yang dituduh. Teolog Walter Brueggemann dalam bukunya The Prophetic Imagination (2001) menulis bahwa peran kenabian sejati adalah menciptakan alternatif dari sistem penguasa, dengan menawarkan visi kasih dan keadilan Allah. Daniel dan Yesus hadir sebagai nabi dalam pengertian ini—mengguncang struktur pengadilan palsu dan mengembalikan martabat pada mereka yang hampir dihancurkan.
Kisah-kisah ini juga menantang kita untuk merenungi: Di manakah kita berdiri? Apakah kita diam bersama Susana? Apakah kita menunduk bersama perempuan dalam Injil? Ataukah, tanpa sadar, kita memegang batu, menyusun kata-kata tajam, atau menghindari tanggung jawab dalam ketidakadilan? Dalam dunia yang dipenuhi vonis di ruang publik digital, di mana satu kesalahan bisa menjadi hukuman seumur hidup, Injil mengajak kita untuk menunduk sejenak, melihat tanah, dan menyadari bahwa kita semua berasal dari debu.
Yesus tidak mengatakan bahwa dosa itu tidak penting. Ia berkata, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.” Tapi Ia memulai dengan belas kasih, bukan vonis. Karena di hadapan Tuhan, belas kasih bukanlah pelemahan keadilan, melainkan jantung dari keadilan itu sendiri.
Refleksi ini bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk zaman kita. Dalam dunia yang cepat menghakimi dan lambat mengampuni, suara Tuhan bergema dalam keheningan, dalam doa Susana, dalam goresan di tanah, dalam wajah seorang perempuan yang diampuni. Ia memanggil kita untuk membangun dunia yang tak lagi menjadikan kelemahan sebagai alasan untuk menghancurkan, tetapi sebagai kesempatan untuk menyembuhkan.
Daftar Pustaka:
- Augustine of Hippo. Confessions. Trans. Henry Chadwick. Oxford University Press, 1991 (asli ditulis ca. 397 AD).
- Brueggemann, Walter. The Prophetic Imagination. Fortress Press, 2001.
- Ignatius Press. The Navarre Bible: Daniel. Ignatius Press, 2005.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I-XII. Yale University Press, 1966.
- Keener, Craig S. The Gospel of John: A Commentary. Baker Academic, 2003.
- Benedict XVI (Joseph Ratzinger). Jesus of Nazareth: Holy Week. Ignatius Press, 2011.