Di tengah kobaran api yang menyala hebat, ada ketenangan yang melampaui akal. Raja Nebukadnezar, yang penuh murka, memerintahkan tungku perapian dipanaskan tujuh kali lebih panas dari biasanya—sebuah gambaran ekstrem dari hasrat dunia untuk memusnahkan keberanian iman. Namun, dari dalam tungku itu, ketiga pemuda Ibrani—Sadrakh, Mesakh, dan Abednego—berdiri, tak terbakar, tak terikat, berjalan bersama sosok keempat yang menyerupai “anak dewa”. Apakah ini hanya kisah tentang mukjizat perlindungan, ataukah ada makna yang lebih dalam tentang siapa kita di hadapan kuasa dan kebenaran?
Di hadapan Yesus, dalam Injil Yohanes, kita juga menemukan perbincangan tentang kebenaran dan kebebasan. “Jika kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar murid-Ku. Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu,” kata-Nya (Yoh 8:31-32). Namun, respons para pendengar-Nya tidaklah sederhana. Mereka merasa tersinggung, mengklaim bahwa mereka tidak pernah menjadi hamba siapa pun, karena mereka adalah keturunan Abraham. Di sinilah Yesus menantang pemahaman dangkal tentang kebebasan. Bagi-Nya, dosa adalah perbudakan sejati, dan hanya hubungan yang hidup dengan-Nya sebagai Anak dapat menghadirkan kebebasan sejati.
Refleksi dari dua bacaan ini bertemu dalam satu titik terang: keberanian untuk tetap berdiri dalam kebenaran, sekalipun dunia membakar dengan panasnya tekanan. Dalam komentarnya, James Montgomery Boice menulis bahwa “iman sejati tidak mencari keselamatan dari api, tetapi tetap setia meskipun harus melaluinya” (Daniel: An Expositional Commentary, 2000). Sementara itu, Raymond E. Brown dalam tafsirannya atas Injil Yohanes menekankan bahwa “pengakuan iman bukanlah akhir, tetapi awal dari transformasi batin yang menuntut ketekunan dalam firman dan kesetiaan pada kebenaran” (The Gospel According to John I–XII, 1966).
Ketiga pemuda dalam kitab Daniel tidak tahu apakah mereka akan diselamatkan atau mati dalam kobaran api. Tetapi mereka tahu siapa Allah mereka. Mereka berkata kepada raja, “Sekalipun tidak [menyelamatkan], kami tidak akan menyembah berhala emas itu” (Dan 3:18). Demikian juga Yesus mengundang kita bukan hanya untuk percaya kepada-Nya, tetapi untuk tinggal di dalam firman-Nya. Dalam dunia di mana kebenaran menjadi relatif dan identitas dapat dibeli, kita diajak untuk hidup dalam identitas sebagai anak-anak Allah yang bebas bukan karena kita tidak mengalami penderitaan, tetapi karena kita tidak tunduk padanya.
Kebebasan Kristiani adalah kebebasan yang ditemukan dalam ketaatan. Itu bukan pembebasan dari batasan, tetapi dari belenggu dosa yang menyembunyikan wajah sejati kita. Seperti api yang tidak membakar tubuh para pemuda itu, kasih karunia Allah memampukan kita untuk berjalan di tengah dunia yang penuh tekanan tanpa kehilangan arah.
Dalam lukisan hidup kita, mungkin kita merasa sedang berada di tungku api: tekanan pekerjaan, godaan dunia, rasa tidak mampu. Tapi di sana juga, ada Pribadi keempat—yang tak selalu tampak, namun hadir. Dia adalah Kristus, yang berjalan bersama kita, meneguhkan hati, dan membawa kita pada kebebasan sejati.
Daftar Pustaka
- Boice, James Montgomery. Daniel: An Expositional Commentary. Baker Books, 2000.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I–XII (Anchor Yale Bible). Yale University Press, 1966.
- Wright, N. T. Simply Christian: Why Christianity Makes Sense. HarperOne, 2006.
- Brueggemann, Walter. Reality, Grief, Hope: Three Urgent Prophetic Tasks. Eerdmans, 2014.