Abram sujud di hadapan Tuhan, wajahnya tertunduk dalam keheningan dan gentar. Di balik ketundukan itu, terselip ketegangan antara iman dan kenyataan: usia lanjut, rahim yang kering, tanah asing yang belum jadi milik. Namun di sana, dalam ketidakmungkinan, Tuhan justru menegaskan janji-Nya, menyebut nama baru: Abraham—bapa banyak bangsa.
Janji itu bukan sekadar ucapan. Ia adalah perjanjian kekal yang dilukiskan dalam waktu, disegel dalam daging, dan diperluas dalam sejarah umat manusia. Seperti diungkapkan oleh Gerhard von Rad dalam Genesis: A Commentary (1961), perjanjian ini adalah “inaugurasi realitas baru yang bukan hanya akan meliputi satu orang dan keluarganya, tetapi seluruh sejarah umat pilihan.”
Mazmur 105 memantulkan kembali narasi janji itu sebagai ingatan liturgis: “Dia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya.” Pemazmur tidak sekadar mengulang fakta sejarah. Ia menyanyikan kasih setia Tuhan sebagai nadi yang mengalir dari generasi ke generasi, dari Abraham hingga umat yang membaca dan menyanyikan mazmur ini dalam pengasingan, ketidakpastian, dan pengharapan.
Namun di dalam Injil Yohanes, janji itu mencapai puncaknya dalam pribadi Yesus. Ketika Dia berkata, “Sebelum Abraham ada, Aku adalah” (Yoh 8:58), Ia tidak sedang memainkan kata. Ia mengumumkan identitas yang melampaui sejarah, nama yang hanya digunakan oleh Allah sendiri dalam semak yang menyala: EHYEH ASHER EHYEH—”Aku adalah Aku.” Menurut Raymond E. Brown dalam The Gospel According to John (1970), ungkapan ini bukan hanya deklarasi teologis, melainkan tindakan pewahyuan penuh: “Dengan perkataan ini, Yesus tidak sekadar menyatakan pre-eksistensi-Nya, tetapi keilahian-Nya secara langsung.”
Bagi para pemimpin Yahudi waktu itu, kata-kata ini menghujam seperti pedang. Bagi orang-orang yang percaya, ini adalah undangan untuk melihat Yesus sebagai pemenuhan dari semua janji yang pernah diberikan kepada Abraham. “Barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya.” Pernyataan ini adalah paradoks Injil: bahwa kehidupan kekal tidak lagi berada di ujung perjalanan, tetapi dimulai saat ini, dalam relasi yang hidup bersama Sang Firman.
Di dunia yang terus dibelah oleh waktu, oleh silsilah, oleh sejarah dan identitas, Yesus mengajak kita untuk masuk dalam dimensi baru: keabadian kasih Allah yang hadir di tengah-tengah dunia melalui-Nya. Ia adalah Perjanjian yang berjalan. Ia adalah Janji yang menjadi manusia. Ia adalah “Aku adalah” yang menyapa kita hari ini.
Seperti Abraham yang berjalan dengan tertatih namun percaya, seperti pemazmur yang menyanyikan janji di tengah kehancuran, dan seperti murid-murid yang kelak akan mengerti siapa Yesus sebenarnya—kita juga dipanggil untuk mengakui, dalam iman, bahwa sebelum segala sesuatu ada, Dia adalah.
Daftar Pustaka:
- Von Rad, Gerhard. Genesis: A Commentary. Westminster Press, 1961.
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John (I–XII). Yale University Press, 1970.
- Brueggemann, Walter. The Psalms and the Life of Faith. Fortress Press, 1995.
- Moloney, Francis J. The Gospel of John: Text and Context. Baker Academic, 2005.
- Wright, N.T. Simply Jesus. HarperOne, 2011.