Minggu Palma – Pekan Suci – Minggu, 13 April 2025
Dalam senyap dan tunduk seorang Hamba yang setia, dunia menyaksikan keberanian yang berbeda dari segala bentuk keberanian yang biasa dikenal. Bukan keberanian yang menantang dengan senjata, melainkan keberanian yang memeluk penderitaan, menghadapinya dengan kepala terangkat dan hati yang patuh. Itulah gambaran Yesaya tentang Hamba Tuhan—seseorang yang diberi lidah untuk menguatkan orang letih lesu, yang tak berpaling dari pukulan dan ludah, karena tahu bahwa Allah sendiri adalah penolongnya.
Yesaya 50:4-7 menjadi pengantar yang mengantar kita masuk dalam pekan paling sakral dalam hidup Gereja: Pekan Suci. Di dalamnya terkandung suara-suara lembut namun kuat dari seorang Hamba yang menerima penderitaan bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai jalan ketaatan. Teolog Walter Brueggemann menyebut nubuat-nubuat Hamba ini sebagai “teologi salib yang mendahului salib” (Brueggemann, Isaiah, 1998). Teks ini bukan sekadar penderitaan, tapi tentang pendengaran—mendengar suara Allah di tengah jeritan dunia dan ketaatan yang radikal atas panggilan-Nya.
Dalam bacaan Filipi 2:6-11, St. Paulus menyusun semacam himne pujian yang menjadi pusat kristologi Perjanjian Baru. Kristus, yang “dalam rupa Allah,” tidak mempertahankan ke-Allahan-Nya sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya. Istilah Yunani kenosis menggambarkan tindakan pengosongan diri ini. Dalam terang ini, Karl Rahner (1966) berbicara tentang misteri inkarnasi sebagai “pengabaian akan kekuasaan untuk merengkuh cinta yang sempurna.” Cinta Allah tampak bukan dalam takhta, tapi dalam pengosongan dan salib.
Klimaks dari permenungan ini ada dalam narasi Injil Lukas yang panjang dan mendalam: sengsara Yesus. Lukas menampilkan Yesus bukan sebagai korban pasif, tetapi sebagai pribadi yang tetap memberi, mengampuni, dan mencintai. Di tengah pengkhianatan, ketakutan, dan kekerasan, Yesus justru menguatkan yang lain: Dia memperingati Petrus, menyembuhkan telinga hamba, memandang dengan belas kasih, mengampuni para penyalib, dan menjanjikan surga bagi penjahat yang bertobat. Dalam gambaran Lukas, Yesus adalah Raja yang tahta-Nya adalah salib.
Renungan ini membawa kita kepada realitas iman yang tidak menghindar dari penderitaan, tetapi memaknainya. Dalam kehidupan kita, kerap kali salib datang bukan karena kita lemah, tapi justru karena kita dipanggil untuk menjadi kuat di dalam kasih. Yesus menunjukkan bahwa kasih sejati itu tidak mencari kenyamanan pribadi, tetapi berani terluka demi yang dikasihi.
Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Rowan Williams dalam The Sign and the Sacrifice (2017), salib bukanlah akhir dari cerita, melainkan tanda bahwa Allah hadir paling nyata di tempat yang paling gelap. Dan itulah pengharapan kita saat memasuki Pekan Suci ini: bahwa kita diundang untuk berjalan bersama Yesus bukan hanya di jalan kemuliaan, tetapi lebih-lebih di jalan salib, karena di sanalah cinta itu dimurnikan dan hidup dipulihkan.
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, Walter. Isaiah 40–66. Westminster John Knox Press, 1998.
- Rahner, Karl. Foundations of Christian Faith. Crossroad, 1966.
- Williams, Rowan. The Sign and the Sacrifice: The Meaning of the Cross and Resurrection. SPCK, 2017.
- Moltmann, Jürgen. The Crucified God. SCM Press, 1974.