SABTU, 26 APRIL 2025
Ada momen-momen di dalam hidup manusia ketika suara kebenaran tak dapat lagi dibungkam, meski risiko dan ancaman membayang. Seperti bara kecil di malam pekat yang tak bisa dipadamkan angin, kesaksian para murid dalam Kisah Para Rasul 4:13-21 berbicara tentang keberanian yang lahir dari perjumpaan dengan Dia yang Bangkit. Petrus dan Yohanes, dua nelayan Galilea yang tak dikenal keunggulannya di dunia filsafat atau hukum, tiba-tiba menjadi suara profetik di hadapan Mahkamah Agama. Suatu keberanian yang, menurut N.T. Wright dalam Acts for Everyone (2008), bukan hasil ketangguhan pribadi, melainkan buah dari pengalaman akan kasih yang telah menembus kematian.
Ketika orang banyak menyadari bahwa Petrus dan Yohanes adalah “orang biasa yang tidak terpelajar” (Kis. 4:13), mereka tertegun, sebab ada sesuatu yang tak bisa mereka sangkal: “Orang yang tadinya sakit itu berdiri di situ bersama-sama dengan mereka.” Bukti hidup itu menjadi saksi bisu bahwa kebenaran bukan hanya kata-kata, melainkan daya yang memulihkan. Walter Brueggemann dalam Truth Speaks to Power (2013) menafsirkan bahwa keberanian para murid adalah contoh nyata bagaimana kebenaran yang datang dari Allah tidak tunduk pada ancaman kekuasaan duniawi, melainkan terus menyala di dalam hati orang-orang kecil yang berjumpa dengan kasih yang membebaskan.
Namun narasi Paskah selalu menyisakan ruang bagi ketegangan batin manusia. Dalam Injil Markus 16:9-15, kita membaca bagaimana bahkan para murid yang telah menyaksikan segala mukjizat dan mendengar nubuat tentang kebangkitan, tetap bergulat dalam ketidakpercayaan. Ketika Maria Magdalena datang membawa kabar tentang Kristus yang hidup, para murid “tidak percaya.” Demikian pula ketika dua murid di jalan diberi perjumpaan, ketegaran hati masih merajai. Yesus yang bangkit lalu menampakkan diri dan menegur ketidakpercayaan mereka, seraya memberikan mandat kerasulan: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”
Raymond E. Brown dalam The Death of the Messiah (1994) menunjukkan bahwa narasi kebangkitan dalam Markus — dengan segala ketegangannya antara keraguan dan kepercayaan — mencerminkan wajah iman umat yang nyata. Iman bukanlah perkara linear, melainkan ruang pergulatan batin di mana harapan, takut, percaya, dan ragu saling bersilang. Kebangkitan, dalam makna terdalamnya, adalah peristiwa yang mengguncang tatanan lama dan memaksa setiap orang memilih: percaya dan diutus, atau terus tinggal dalam keraguan.
Yang menarik, mandat kerasulan dalam Markus datang bukan setelah para murid sepenuhnya beriman, tetapi justru di tengah kebimbangan itu. Ini menjadi pesan penting bahwa Allah tidak menunggu manusia mencapai kesempurnaan iman untuk diutus. Dia memilih yang rapuh, yang pernah gagal, yang pernah takut, untuk menjadi pembawa kabar sukacita. Seperti ditulis Henri Nouwen dalam The Wounded Healer (1972), hanya orang yang mengenal luka dirinya, yang mampu merawat luka orang lain. Dan Paskah adalah peristiwa di mana luka dan kemuliaan berpadu dalam satu kisah kasih yang menebus.
Dalam suasana batin seperti itulah, bacaan hari ini mengundang kita untuk merefleksikan dua hal yang saling mengikat. Pertama, keberanian bersaksi tak lahir dari ketegasan diri, melainkan dari perjumpaan personal dengan Dia yang hidup. Kedua, panggilan untuk mewartakan kabar baik tetap berlangsung bahkan di tengah ketidakpastian dan keraguan iman.
Seperti bara yang terus menyala meski ditiup angin malam, demikian pula kasih Kristus yang bangkit tak dapat dipadamkan oleh ancaman kekuasaan, keraguan batin, atau kesalahan masa lalu. Di hadapan Dia yang bangkit, kita semua dipanggil bukan hanya menjadi saksi mata, melainkan saksi hidup: menghadirkan harapan di tengah dunia yang masih gemetar di antara maut dan kebangkitan.
Daftar Pustaka:
- Brueggemann, W. (2013). Truth Speaks to Power: The Countercultural Nature of Scripture. Westminster John Knox Press.
- Brown, R. E. (1994). The Death of the Messiah. Yale University Press.
- Nouwen, H. (1972). The Wounded Healer: Ministry in Contemporary Society. Image Books.
- Wright, N. T. (2008). Acts for Everyone. SPCK.