SENIN, 28 APRIL 2025
Setelah mengalami ancaman dan intimidasi dari para pemimpin agama, para rasul dalam Kisah Para Rasul 4:23–31 tidak memilih untuk menyelamatkan diri atau mengeluhkan keadaan. Mereka kembali ke komunitas mereka dan bersama-sama menaikkan doa yang mengguncangkan bumi. Doa mereka bukanlah doa ketakutan, melainkan permohonan untuk diberikan keberanian dalam memberitakan firman Allah dengan kuasa. Dalam Acts: An Exegetical Commentary (2012–2015), Craig S. Keener menekankan bahwa doa ini mencerminkan keyakinan mendalam akan kedaulatan Tuhan atas segala peristiwa, bahkan di tengah ancaman nyata terhadap hidup mereka. Mereka mengutip Mazmur 2, seakan-akan ingin menegaskan kepada diri sendiri dan dunia bahwa apa yang mereka alami bukanlah di luar kendali ilahi, melainkan bagian dari rencana besar Allah.
Mazmur 2 sendiri mengungkapkan suatu kebenaran yang menenangkan: bahwa upaya bangsa-bangsa untuk memberontak terhadap Tuhan dan Mesias-Nya adalah sia-sia. Mazmur ini berbicara tentang tawa Tuhan yang agung atas kesombongan para penguasa dunia. David Guzik, dalam komentarnya tentang Mazmur 2, mencatat bahwa Tuhan tidak terintimidasi oleh pemberontakan manusia; Ia telah menetapkan Raja-Nya di Sion. Di tengah ketidakpastian dunia, di tengah hiruk pikuk politik dan kekacauan sosial, Mazmur ini berdiri sebagai deklarasi bahwa Allah tetap berdaulat, tidak tergoyahkan oleh goncangan duniawi. Tidak ada konspirasi, tidak ada kekuatan global, tidak ada kekuasaan manusia yang mampu mengganggu rencana-Nya.
Kemudian kita dibawa ke sebuah percakapan malam hari yang tenang, namun penuh gejolak batin: Yesus dan Nikodemus. Dalam Yohanes 3:1–8, Yesus mengungkapkan sebuah kebutuhan mendasar: “Jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Ini bukanlah perubahan perilaku semata atau adopsi nilai-nilai moral yang lebih baik. Dr. Martyn Lloyd-Jones menjelaskan bahwa kelahiran kembali adalah transformasi radikal—suatu ciptaan baru yang hanya dapat dilakukan oleh Roh Kudus. Ini adalah karya ilahi yang tidak bisa dihasilkan oleh usaha manusia, melainkan merupakan anugerah dari atas. Dengan kelahiran baru ini, seseorang dipanggil keluar dari kehidupan lama yang terjebak dalam kecemasan dan pemberontakan, menuju kehidupan baru dalam damai dan kuasa Allah.
Ketiga bacaan ini berbicara dengan suara yang serempak kepada dunia kita saat ini—sebuah dunia yang sedang bergejolak. Kita hidup di tengah berbagai krisis: perubahan iklim, konflik geopolitik, krisis identitas, dan kehausan rohani yang dalam. Banyak bangsa “menggoncangkan rantai” mereka, memberontak melawan tatanan moral dan spiritual, berharap menemukan kebebasan dalam penolakan terhadap Tuhan. Namun, seperti dalam Mazmur 2, usaha manusia tanpa Allah berakhir dalam kekacauan dan kehampaan. Kisah para rasul menunjukkan jalan lain: kembali kepada komunitas iman, berdoa bersama, memohon keberanian, dan percaya pada kedaulatan Allah. Yohanes 3 menawarkan pintu keluar yang sejati: kelahiran kembali melalui Roh Kudus yang memberi kehidupan baru, bukan hanya untuk bertahan di tengah kekacauan, tetapi untuk hidup dalam damai, keberanian, dan sukacita yang tak tergoncangkan.
Bayangkanlah seorang manusia berdiri di tengah badai besar. Angin kencang, kilat menyambar, dan tanah berguncang di bawah kakinya. Namun dari dalam dirinya, ada cahaya terang yang tidak padam. Ia tidak dihempaskan badai itu, tidak goyah oleh kegelapan sekitarnya. Cahaya itu bukan berasal dari kekuatan pribadinya, melainkan dari Roh Allah yang menghidupkan dan membentuknya kembali. Inilah gambaran dari refleksi hari ini: kebangkitan rohani di tengah dunia yang bergolak. Dunia bisa kacau, namun mereka yang dilahirkan kembali dalam Roh tetap berdiri teguh dalam terang Tuhan.
Refleksi ini menantang kita untuk bertanya: Apakah kita telah mengalami kelahiran kembali? Apakah kita berani bersaksi dalam dunia yang penuh ancaman? Apakah kita sungguh percaya bahwa Allah tetap berdaulat atas segala sesuatu? Jika ya, maka kita, seperti para rasul, dipanggil untuk berdoa, memberitakan, dan hidup dengan berani—dengan keyakinan penuh bahwa Kerajaan Allah terus bertumbuh, bahkan di tengah badai dunia.