JUMAT, 2 MEI 2025,
Hari itu, kekalutan melanda para rasul. Dalam Kisah Para Rasul 5:34-42, mereka berdiri di hadapan Mahkamah Agama, diancam karena pewartaan mereka yang tak terbendung. Namun, dari dalam gelapnya ancaman, muncul suara Gamaliel—seorang Farisi, seorang bijak. Ia memohon agar mereka tidak gegabah menghukum para pengikut Yesus. Ia mengingatkan bahwa jika karya mereka berasal dari Allah, maka siapa pun tak akan mampu menggagalkannya. “Jika dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini,” katanya, “mungkin malah ternyata kamu melawan Allah.”
Dalam mazmur, gema pengharapan itu disambut dengan puji-pujian: “Tuhan adalah terang dan keselamatanku, kepada siapa aku harus takut?” (Mzm. 27:1). Mazmur ini mengalun seperti pelipur lara bagi mereka yang sedang menapaki lorong gelap kehidupan. Pemazmur memilih satu permintaan saja: untuk diam di rumah Tuhan sepanjang umur hidupnya, memandang kelembutan wajah-Nya.
Dan Injil hari ini (Yohanes 6:1-15) membawa kita pada salah satu mukjizat yang paling dikenal—Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ikan. Ini bukan hanya kisah keajaiban, tapi kisah tentang harapan yang tak pernah habis. Di tengah kelaparan jasmani dan rohani, Yesus hadir dengan hati penuh belas kasih. Ia tidak hanya memberi makan, Ia membagikan hidup.
Dalam narasi Injil ini, para teolog seperti Raymond E. Brown (1997) menekankan bahwa mukjizat ini adalah cerminan dari Ekaristi. Yesus bukan hanya memberi makanan untuk tubuh, tetapi menawarkan diri-Nya sebagai roti kehidupan. Sementara itu, N. T. Wright (2012) melihat tindakan Yesus sebagai simbol Kerajaan Allah yang telah hadir di tengah dunia: kerajaan di mana kelimpahan berasal dari kemurahan, bukan dari kekuasaan.
Refleksi ini menjadi cermin bagi kita yang hidup dalam dunia penuh kecemasan dan kelaparan akan makna. Banyak di antara kita merasa seperti para murid yang berkata, “Tetapi apa artinya itu untuk sekian banyak orang?” Kita kerap merasa kecil, tak cukup, tidak mampu. Namun Yesus mengambil apa yang ada, sekecil dan sesederhana apa pun, lalu mengangkatnya ke surga, memberkatinya, dan membaginya. Mukjizat terjadi dalam pembagian, bukan dalam kelimpahan.
Dan seperti dalam Kisah Para Rasul, jika apa yang kita kerjakan bersumber dari kasih dan kebenaran, tak ada satu kekuatan pun yang dapat membungkamnya. Seperti kata Gamaliel, jangan melawan Allah yang sedang bekerja secara diam-diam di antara mereka yang sederhana, yang berserah, yang membagi roti mereka dalam keheningan dan cinta.
Refleksi ini mengajak kita untuk percaya, berharap, dan memberi. Di tengah amarah dan ancaman, tetaplah bersaksi. Di tengah keraguan, percayalah akan tangan yang membagi roti. Dan di tengah kelaparan dunia, jadilah bagian dari mukjizat: ambillah, angkatlah, dan bagikanlah.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John I–XII. Yale University Press, 1997.
- Wright, N. T. How God Became King: The Forgotten Story of the Gospels. HarperOne, 2012.
- Fitzmyer, Joseph A. The Acts of the Apostles: A New Translation with Introduction and Commentary. Yale University Press, 1998.
- Brueggemann, Walter. Praying the Psalms: Engaging Scripture and the Life of the Spirit. Cascade Books, 2007.