Dalam perjalanan hidup yang penuh tanya, ada sosok Stefanus, seorang yang disebut penuh kasih karunia dan kuasa, yang bersinar tidak karena ambisinya, tetapi karena terang Allah yang tinggal di dalamnya. Di tengah wajah dunia yang tak jarang menolak kebenaran, Stefanus berdiri, bukan sebagai pendebat ulung, tetapi sebagai pribadi yang membiarkan Roh berbicara melalui hidupnya. Kisah Para Rasul 6:8-15 tidak sekadar mencatat tentang pengadilan palsu atas dirinya, melainkan memperlihatkan betapa iman yang tulus kerap menjadi sasaran dunia yang takut kehilangan kuasanya. Ia difitnah, diputarbalikkan, tetapi wajahnya seperti wajah malaikat—suatu pertanda bahwa ia telah melihat lebih jauh daripada yang kasat mata.
Mazmur 119 menyelinap sebagai doa yang lembut, seperti bisikan di tengah malam yang panjang. “Sekalipun pemuka-pemuka duduk berbicara melawan aku,” kata pemazmur, “aku merenungkan ketetapan-Mu.” Di saat manusia merasa sunyi dan terancam, sabda Tuhan menjadi penghiburan. Ayat demi ayat dari Mazmur ini seperti undangan untuk bersandar kepada Firman, bukan sebagai bacaan, tapi sebagai napas kehidupan. Di tengah fitnah dan ketidakadilan, suara Tuhan dalam hati menjadi lebih keras daripada sorak dunia.
Dan kemudian kita mendengar Injil Yohanes 6:22-29, di mana orang banyak mencari Yesus. Tapi pencarian mereka dibuka oleh Yesus sendiri: “Kamu mencari Aku bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kenyang.” Pernyataan itu tidak menghukum, tetapi menyingkapkan bahwa manusia kerap mencari Tuhan demi pemenuhan kebutuhan, bukan demi kasih sejati. Namun Yesus tidak menolak mereka. Ia justru menuntun mereka kepada kedalaman yang lebih hakiki: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan binasa, tetapi untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal.”
Teolog D.A. Carson dalam The Gospel According to John (1991) mencatat bahwa bagian ini merupakan kritik halus atas pencarian yang salah arah—sebuah dorongan untuk mengarahkan hasrat rohani bukan pada mujizat luar, tetapi pada Sang Pemberi Hidup itu sendiri. Sementara F.F. Bruce dalam The Book of the Acts (1988) mencermati bahwa dalam diri Stefanus, kita melihat sebuah peralihan penting dalam sejarah Gereja: dari pelayanan para rasul yang bersifat lokal, menuju pewartaan yang mulai menyentuh batas-batas baru, hingga menembus ke ranah non-Yahudi.
Refleksi dari tiga bacaan ini seperti jalinan benang tak terlihat yang membentuk satu makna mendalam: kita semua berada dalam ziarah iman, dari pencarian yang dangkal menuju relasi yang dalam. Dari hanya ingin makan roti yang kenyang, menjadi pribadi yang lapar akan kebenaran kekal. Dari takut difitnah, menjadi pribadi yang berdiri dalam damai karena tahu siapa yang ia ikuti.
Stefanus, sang martir pertama, mengajarkan kita keberanian yang lembut. Pemazmur, sang pendoa yang setia, menunjukkan kekuatan dari renungan dalam batin. Dan Yesus, Sang Roti Hidup, menyapa kita hari ini, bukan dengan argumen, tetapi dengan undangan: percayalah kepada Dia yang diutus Allah.
Daftar Pustaka:
- Bruce, F.F. The Book of the Acts. Eerdmans, 1988.
- Carson, D.A. The Gospel According to John. Eerdmans, 1991.
- Brown, Raymond E. An Introduction to the Gospel of John. Yale University Press, 2003.
- Wright, N.T. John for Everyone, Part 1. SPCK, 2004.