RABU, 14 MEI 2025
Seusai Kristus naik ke surga, muncul kesadaran di antara para rasul bahwa lingkaran persekutuan mereka mesti dipulihkan kembali setelah satu orang meninggal bunuh diri, yakni Yudas Iskariot. Seseorang harus dipilih untuk menggantikan Yudas—yang tentu saja bukan sekadar pelengkap, tetapi sebagai tanda utuhnya kesaksian komunitas yang akan membawa Injil ke ujung bumi. Karena itu, Matias dipilih.
Ia bukan wajah baru. Ia sudah ikut sejak awal, berjalan bersama mereka dari baptisan di Sungai Yordan hingga saat Yesus terangkat ke surga. Namun baru kali ini namanya diangkat. Terkadang, kesetiaan tak segera dikenal, tapi selalu diperhitungkan di mata Tuhan.
Kisah pemilihan Matias mencerminkan betapa seriusnya komunitas murid memelihara keutuhan dan kesinambungan kesaksian. Dalam Kisah Para Rasul 1:15-26, Petrus memimpin doa dan pemilihan bukan sebagai langkah administratif, melainkan spiritual. Nama-nama diajukan, doa dinaikkan, lalu undi diambil. Di tengah misteri pemilihan itu, terlihat bahwa panggilan menjadi rasul bukanlah hak, melainkan anugerah. Matias tidak mencalonkan diri; ia dipanggil karena Tuhan melihat hatinya.
Injil hari ini, Yohanes 15:9-17, menjadi jantung dari panggilan itu: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Yesus menyingkapkan bahwa setiap pemilihan adalah tanggapan atas kasih. Ia tidak memilih berdasarkan kehebatan, melainkan kesiapsediaan untuk tinggal dalam kasih-Nya dan berbuah. Kasih bukanlah perasaan abstrak, melainkan hidup yang konkret: mengasihi seperti Yesus mengasihi. Itulah perintah-Nya kepada para sahabat, bukan sekadar hamba.
Ini mengingatkan kita para pemilihan penerus Petrus yang baru saja berlalu, Paus Leo XIV. Kita telah mendapatkan pemimpin baru dengan gaya dan pemilihan yang tidak berbeda jauh dengan pemilihan Rasul Matias. Pemilihan tidak terjadi melalui kampanye, melainkan melalui proses hening, doa, dan kesadaran bahwa masing-masing mendapatkan tugas menjadi alat Tuhan/ Roh Kudus untuk memilih mitra-Nya.
Santo Matias menjadi ikon dari sahabat yang setia dalam diam. Ia tidak menonjolkan diri, namun tetap hadir. Dan pada saat yang tepat, Tuhan mengangkatnya menjadi penyalur kasih yang lebih besar. Dalam dunia yang serba menuntut pengakuan instan, Matias adalah pengingat bahwa kesetiaan yang tersembunyi adalah ladang di mana kasih Allah tumbuh subur.
Teolog William L. Lane dalam The Gospel of Mark (1974) menggarisbawahi pentingnya kebersamaan dalam komunitas murid: bahwa keberlanjutan karya Allah dalam sejarah sering kali terjadi lewat pribadi-pribadi yang tak banyak dikenal, namun sangat diperlukan. Sementara Raymond Brown dalam The Gospel According to John (1970) menyebut perintah kasih Yesus sebagai “jantung teologi komunitas Yohanes” karena dari sanalah spiritualitas dan relasi berkembang: kasih yang bersumber dari Allah dan diarahkan kepada sesama.
Refleksi atas perayaan Santo Matias Rasul bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan undangan hari ini: untuk menjadi sahabat Yesus, dipilih bukan karena layak, tetapi karena bersedia tinggal dalam kasih dan mewujudkannya dalam tindakan.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John. Garden City: Doubleday, 1970.
- Lane, William L. The Gospel of Mark. Grand Rapids: Eerdmans, 1974.
- Wright, N.T. Acts for Everyone, Part One. London: SPCK, 2008.
- Keener, Craig S. The IVP Bible Background Commentary: New Testament. Downers Grove: InterVarsity Press, 1993.