Konon, di masa lalu, Romo Fransiskus Strater SJ[1] dikenal bukan hanya sebagai pelopor pendidikan Kanisius di Yogyakarta, tetapi juga karena kegigihannya dalam mempromosikan pendidikan anak-anak Yogyakarta. Kegigihan ini nampak dalam pemberian coret-coret kepada anak seraya mengatakan supaya mereka membawa ke institusi pendidikan mana pun. Dapat ditengarai, Romo Strater SJ in memanfaatkan gelombang tumbuh pendidikan bak cendawan di wilayah-wilayah nusantara, termasuk di Jawa. Kita kurang mempunyai informasi apakah pemberian coret-coret “supaya sekolah” ini mendapatkan resistensi karena malah menunjukkan karakter kolonial saat itu. Namun, yang bisa dilacak adalah bahwa minat terhadap pendidikan di masyarakat Jawa sangatlah tinggi. Yayasan Pendidikan Kanisius didirikan pada 1918. Hal ini juga menjadi bagian penting dari “pribumisasi” pendidikan yang sudah dikerjakan dengan sunguh-sungguh oleh para Yesuit semasa itu, termasuk dengan membandingkan karya-karya Romo Van Lith SJ (Muntilan-Kedu-Menoreh), Romo Petrus Hoevenaars SJ (Mendut), dan Romo Prennthaler SJ (Kulon Progo-Menoreh).
Berefleksi ke belakang, tentu saat ini, kita sangat hati-hati untuk dapat melakukan pemberian coret-coret yang bisa dicurigai sebagai “bansos” atau “kristenisasi/katolikisasi”. Dengan ini, kita dapat merefleksikan kemurahan hati tidak dalam bentuk pemberian coret-coret melainkan kehadiran pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran fisik dan kehadiran kemurahan hati cocok atau berkesesuaian dengan situasi masyarakat atau orang-orang yang peduli pendidikan yang saat ini galau melihat bahwa peran guru digantikan oleh teknologi. Anak atau partisipan pendidikan saat ini jauh lebih terampil dalam belajar melalui akses teknologi daripada duduk dan mendengarkan omongan dari para guru.
Dalam hal kehadiran fisik, pendidikan hadir dalam situasi dan konteks masyarakat. Situasi dan konteks masyarakat ini diintegrasikan ke dalam belajar mengajar; sebaliknya, ilmu pengetahuan diintegrasikan ke dalam situasi dan konteks kemasyarakatan. Kehadiran fisik ini tampak dalam diri guru, pendidik, romo, suster, bruder, aktivis, penggiat yang semuanya menghadirkan pendidikan tersebut. Jika situasi dan konteks masyarakat memang kacau atau tidak beraturan, pendidikan hadir untuk memahami hal tersebut, dan membawanya dalam bahasan pembelajaran. UNESCO sering mengambil istilah “learning about learning”
Dalam hal kemurahan hati, pendidikan menjadi penghubung antara keunggulan, kebaikan, kreativitas yang berkembang di berbagai titik, individu, kelompok di dunia dengan para guru dan pendidik. Kemurahan hati yang dimaksud adalah proses yang terbuka, tidak eksklusif, serta mempertimbangkan siapa yang paling membutuhkan. Perempuan, mereka yang berasal dari petani-buruh tani-pekerja, dan yang hidup di desa, membutuhkan kemurahan hati ini. Dengan adanya teknologi dan jejaring keunggulan yang saat ini dikelola oleh para guru dan pendidik, kebutuhan ini dapat lebih dijawab dan dilayani dengan waktu yang lebih singkat, apalagi jika dibandingkan dengan masa Romo Fransiskus Strater SJ.
[1] https://parokikotabaru.org/sejarah-gereja/