Mengenal Dokumen Dominus Iesus (2000)
Pada tanggal 6 Agustus 2000, Kongregasi bagi Ajaran Iman yang saat itu dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI menerbitkan sebuah dokumen penting berjudul Dominus Iesus: Tentang Keunikan dan Keuniversalan Penyelamatan Yesus Kristus dan Gereja. Dokumen ini disetujui dan disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai penegasan kembali atas ajaran iman Katolik dalam menghadapi arus pemikiran pluralisme dan relativisme agama yang semakin berkembang pada akhir abad ke-20.
Melalui Dominus Iesus, Gereja Katolik menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Penyelamat umat manusia, dan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh melalui Dia. Dalam semangat yang sama, dokumen ini menegaskan bahwa Gereja Katolik memiliki peran yang unik dan istimewa sebagai sakramen keselamatan, meskipun Gereja juga mengakui bahwa unsur-unsur kebenaran dan keselamatan dapat ditemukan secara parsial dalam tradisi agama-agama lain. Namun, Gereja menolak pandangan yang menyamakan semua agama sebagai jalan keselamatan yang setara, karena pandangan semacam itu dinilai mengaburkan identitas iman Kristen yang sejati.
Penerbitan Dominus Iesus dilatarbelakangi oleh perkembangan teologi pluralis yang bermaksud menciptakan keharmonisan antaragama dengan menempatkan semua agama pada posisi yang sama dalam hal kebenaran dan keselamatan. Kendati dimotivasi oleh semangat toleransi dan dialog, pendekatan ini dalam pandangan Gereja justru membawa risiko serius terhadap pemahaman Kristologi dan eklesiologi Katolik. Oleh karena itu, dokumen ini hadir sebagai koreksi teologis dan sebagai penanda bahwa dialog antaragama tidak boleh mengaburkan keunikan misi Yesus Kristus dan Gereja-Nya.
Dominus Iesus: Menegaskan Kembali Wajah Kristus dan Gereja
Salah satu pesan terpenting dari Dominus Iesus adalah penegasan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Penyelamat umat manusia. Di tengah zaman yang penuh dengan keragaman agama, kebudayaan, dan pandangan hidup, Gereja ingin mengingatkan bahwa iman Kristiani tidak dibangun atas dasar kompromi, melainkan atas pengakuan iman bahwa “tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan selain nama Yesus” (bdk. Kis 4:12).
Ajaran ini bukanlah bentuk kesombongan rohani atau keinginan untuk menyingkirkan yang lain, tetapi merupakan kebenaran iman yang dipercayakan kepada Gereja, yang harus diwartakan dengan kasih dan kesetiaan. Sebab jika Kristus benar-benar Putra Allah yang menjadi manusia, wafat dan bangkit demi keselamatan dunia, maka wajar jika iman kepada-Nya tidak bisa dianggap setara begitu saja dengan pandangan lain yang menyangkal kenyataan ilahi ini.
Dominus Iesus juga menegaskan bahwa Gereja Katolik memiliki peran khusus sebagai sakramen keselamatan, tempat di mana kepenuhan rahmat dan kebenaran Kristus dipercayakan. Ini bukan berarti Gereja memandang dirinya sebagai satu-satunya tempat kebaikan, tetapi sebagai saluran utama yang Allah tetapkan bagi keselamatan umat manusia. Maka dari itu, meskipun Gereja mengakui bahwa agama-agama lain mengandung nilai-nilai baik, ia tidak boleh menyamakan semuanya sebagai jalan keselamatan yang setara. Dalam hal ini, Dominus Iesus memberi peringatan tegas terhadap sikap relativisme religius pandangan yang mengatakan bahwa semua agama sama benarnya, dan bahwa keselamatan bisa datang dari mana saja tanpa perlu mengakui Kristus. Pandangan seperti ini, meskipun tampak toleran, sejatinya menempatkan Yesus hanya sebagai tokoh moral atau guru besar, dan bukan sebagai Tuhan yang hidup.
Gereja tidak menolak dialog antaragama. Sebaliknya, Gereja mendorongnya, sebagai bentuk keterbukaan dan cinta kasih terhadap semua orang. Namun, dialog tidak boleh menjadikan kita ragu akan identitas kita sendiri. Dialog sejati lahir dari kebenaran, bukan dari kebingungan. Kita berdialog bukan karena kita tidak yakin akan Kristus, tetapi justru karena kita ingin menghadirkan Kristus dengan kasih dan kerendahan hati dalam dunia yang sedang mencari kebenaran.
Refeleksi: Hidup Beriman di Tengah Pluralisme Zaman Ini
Di zaman sekarang, kehidupan umat Katolik menghadapi tantangan yang tidak lagi hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam. Kemajuan teknologi yang pesat, kemudahan informasi, serta gaya hidup yang serba instan sering kali membawa manusia pada kecenderungan mengandalkan logika dan efisiensi semata, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan iman. Dalam banyak hal, kita lebih percaya pada kemampuan teknologi daripada mempercayakan hidup kepada Allah. Tanpa disadari, hal ini perlahan mengikis kepekaan iman, memudarkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membuat manusia merasa cukup tanpa kehadiran Tuhan.
Kita hidup dalam masyarakat yang majemuk, Indonesia adalah contoh nyata di mana berbagai agama, budaya, dan keyakinan hidup berdampingan. Pluralisme yang kita alami adalah sebuah kekayaan, tetapi juga menjadi medan ujian iman. Banyak umat Katolik hari ini merasa ragu untuk menyatakan imannya secara terbuka karena takut dianggap tidak toleran. Bahkan lebih dari itu, ada yang mulai meyakini bahwa semua agama sama saja, bahwa Yesus hanyalah satu di antara banyak jalan keselamatan. Pandangan semacam ini sering kali tidak datang dalam bentuk yang terang-terangan, tetapi masuk secara halus melalui media sosial, pendidikan umum, dan lingkungan kerja yang menekankan pada netralitas spiritual.
Inilah bentuk nyata dari relativisme religius sebuah cara berpikir yang menolak adanya kebenaran tunggal dan mutlak dalam hal iman. Relativisme menjadikan iman sekadar pilihan pribadi, tanpa bobot kebenaran universal. Padahal, iman Kristiani tidak bisa dipisahkan dari klaim bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Penyelamat satu-satunya, yang rela wafat di salib dan bangkit untuk menyelamatkan manusia. Pengakuan ini bukan sikap eksklusif, tetapi dasar dari iman kita yang seharusnya menjadi kekuatan dan pengharapan, bukan sesuatu yang disembunyikan.
Setelah Konsili Vatikan II, Gereja memang mengakui bahwa keselamatan dapat dijumpai di luar Gereja Katolik. Tetapi pengakuan ini tidak berarti semua agama sama atau bahwa Gereja tidak lagi penting. Justru di sinilah panggilannya: untuk terlibat dalam dialog antaragama dengan hati terbuka, namun tetap teguh memelihara identitasnya sebagai sakramen keselamatan.
Maka di tengah keragaman ini, umat Katolik dipanggil untuk hidup berdampingan dengan damai, tetapi tidak kehilangan arah dan pegangan iman. Kita bisa menghormati agama lain, bekerja sama dalam hal-hal kemanusiaan, dan membangun masyarakat yang adil—namun pada saat yang sama, kita harus tetap setia pada Injil. Menjadi Katolik berarti menjadi terang dan garam dunia, bukan larut dan tenggelam dalam arus pluralisme yang tanpa fondasi iman.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, identitas Kristiani bukanlah penghalang dialog, tetapi justru fondasi yang kokoh untuk berdialog dalam kebenaran dan kasih. Semakin kita mengenal dan menghidupi iman kita, semakin kita mampu menghadirkan wajah Kristus dalam dunia yang sedang haus akan kebenaran sejati.
Penulis : Josep Sianturi Mahasiswa STP St. Bonaventura Keuskupan Agung Medan-“Kata-kata dapat berlalu, tetapi tulisan yang lahir dari iman akan tinggal selamanya.”