Pendahuluan
Menanggapi permintaan Mas Wahyu untuk menuliskan dasar pertimbangan mengadakan nyadran ke Belanda, saya menyambutnya dengan senang hati. Saya akan menuliskannya dalam tiga episode, disertai cerita-cerita pribadi yang berkaitan erat. Mohon maaf, penulisannya tidak bisa langsung selesai karena tiga hari setelah saya pulang dari perjalanan tersebut, saya harus mendampingi kelompok prodiakon St. Stephanus berziarah ke Yogyakarta.
Episode 1: Dua Alasan, Dua Romo
Ketika saya memutuskan untuk memanfaatkan dua minggu waktu libur untuk pergi ke Eropa, ada dua alasan utama yang menjadi dasar keputusan itu: menjenguk teman dan nyadran. Anak saya pun heran, “Mengapa jauh-jauh ke Eropa hanya untuk mengunjungi makam?”
Bagi saya, ada alasan yang sangat kuat dan mendalam. Banyak buah kehidupan yang saya rasakan saat ini berakar dari pendidikan dan bimbingan yang saya terima dari para Romo Belanda, bahkan sejak di Seminari Kecil. Bekal hidup (sangu) itu pertama kali ditanamkan oleh Romo van der Putten. Sementara, ketika saya sudah dewasa, Romo Kadarman turut memberi bekal yang tidak kalah berharga. Warisan spiritual dan etika hidup dari mereka begitu kuat membekas dalam diri saya hingga menjadi panggilan batin untuk saya teruskan kepada anak-anak saya.
Kasih setia mereka dalam panggilan Tuhan dan kerendahan hati yang nyata dalam kehidupan sehari-hari begitu menyentuh saya. Karena itu, saya merasa terpanggil untuk menanamkan nilai-nilai itu dalam keluarga saya sendiri.
Saya ingin berbagi dua kisah yang sangat mengesankan dari kedua Romo tersebut.
Pertama, kisah dengan Romo van der Putten.
Beliau kerap memanggil saya ke kamarnya untuk colloquium, semacam percakapan pribadi mengenai pendidikan rohani, studi, dan kesehatan. Selalu ada petunjuk konkret yang beliau berikan. Tapi satu peristiwa sangat membekas. Saat saya sedang bermain sepak bola dan menjaga gawang, Romo menonton dari pinggir lapangan. Ada momen bola bergulir sekitar tiga meter dari gawang tanpa ada lawan di dekatnya. Saya meloncat dan ‘terbang’ untuk menangkap bola itu, padahal tidak perlu. Setelah pertandingan usai, Romo memanggil saya di lapangan.
“Saya lihat kamu tadi terbang-terbang mau nangkap bola,” katanya.
“Inggih, Romo.”
“Ada musuh di situ?”
“Mbote̶n, Romo.”
“Kenapa harus terbang?”
Saya hanya diam.
“Sombong ya? Mau cari pujian?” katanya, langsung to the point.
Pesannya sederhana tapi mengena. Romo melihat sikap saya sebagai show off, dan tegurannya menjadi pelajaran hidup yang saya kenang sepanjang masa.
Kedua, kisah bersama Romo Kadarman
Pada tahun 1968, saat saya baru menjadi staf dan sekretaris di PPM, Romo Kadarman memberikan saya surat dan memerintahkan, “Kamu buat jawabannya.” Tidak banyak arahan. Saat saya menyerahkan konsep pertama, beliau hanya berkata, “Kurang bagus! Bikin lagi.” Konsep kedua pun ditolak. Karena saya merasa konsep pertama lebih baik, saya ketik ulang konsep itu dan menyerahkannya lagi. Kali ini, Romo berkata, “Nah, ini bagus.” Rupanya itu ujian ketahanan batin bagi saya—untuk menguji stamina rohani si ‘jebolan baru’.
Ada pula satu peristiwa penting lainnya. Saat saya mendapat tawaran kerja dari Pak Teddy Rachmat untuk masuk ke Astra, saya melapor ke Romo Kadarman. Beliau hanya menggeleng singkat, tanpa komentar. Saya yakin dalam batin beliau mungkin bertanya: Apa yang kamu cari sebenarnya?
Namun jasa Romo Kadarman tak berhenti di situ. Beliaulah yang mengutus saya untuk studi ke Asian Institute of Management di Filipina, dan juga yang mendukung lamaran saya ke Program Doktor di Amerika Serikat dengan surat rekomendasinya. Perjalanan hidup saya tak akan seperti sekarang tanpa bimbingan kedua Romo itu.
Episode 2: Dilema Visa dan Suara Hati
Selain nyadran, saya juga ingin menengok adik saya di Prancis. Namun keinginan suci ini diuji oleh kenyataan: proses pengurusan visa ke Belanda terkenal rumit dan mahal. Banyak orang bilang, “Visa Belanda itu susah.” Travel milik Mas Asmi pun sudah tidak aktif secara individu, jadi tak bisa membantu.
Anak saya menyarankan membuat visa Schengen dari Kedutaan Prancis, karena akan lebih mudah dan murah. Tapi konsekuensinya, saya harus berbohong. Rencana perjalanan sebenarnya adalah ke Belanda, bukan Prancis. Tapi untuk visa, kami harus berpura-pura bahwa Prancis adalah tujuan utama. Maka disusunlah dokumen-dokumen palsu: bukti pemesanan hotel di Belanda, tiket kereta ke Belgia, hingga penerbangan KLM ke Nantes dan kembali. Semua itu rekayasa.
Saya mulai gelisah. Niat suci untuk nyadran, justru harus dilalui dengan kepalsuan. Timbul skrupel. Apakah boleh nyadran—sebuah tindakan penghormatan pada para guru iman—dilakukan dengan cara yang penuh dusta? Hati saya penuh pergolakan. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan memberi jalan agar saya bisa melakukannya tanpa tipu muslihat.
Satu-satunya strategi yang kami ambil adalah meminta fasilitas wheelchair dari Garuda, untuk saya dan istri. Bukan karena sakit, tapi untuk memudahkan akses di bandara yang besar dan melelahkan, dari pesawat ke pengambilan koper. Ada juga agenda tersembunyi: semoga dengan wheelchair, kami bisa langsung didampingi petugas hingga keluar bandara, tanpa harus menghadapi pertanyaan detil dari petugas imigrasi.
Episode 3: Doa, Deg-degan, dan Lega
Penerbangan nonstop selama 17 jam dari Jakarta ke Amsterdam saya lalui dengan banyak doa pendek dalam hati. Begitu tiba di Schiphol, petugas wheelchair langsung menggiring kami ke loket imigrasi khusus—loket yang biasa dipakai oleh awak kabin dan pilot.
Saya sudah siap dengan seluruh “bukti palsu” yang disiapkan: itinerary, hotel, tiket kereta. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan.
Petugas imigrasi hanya melihat paspor saya dan bertanya pelan:
“How long will you stay in Amsterdam?”
Saya menjawab sopan, “Four days, Sir.”
Ia langsung berkata:
“Okay. Next.”
Giliran istri saya pun tidak ditanya apa pun. Kami langsung menuju pengambilan koper. Deg-degan di dada saya berubah menjadi kelegaan yang dalam. Rasanya saya tidak berbohong, karena saya memang tinggal empat hari di Amsterdam sebelum melanjutkan perjalanan ke Belgia.
Ketika saya menceritakan semua ini pada anak saya, dia berkata, “Pak, itu karena Bapak dan Ibu pakai wheelchair.”
Di situlah saya merasa Firman Tuhan menjadi nyata:
“Datanglah kepada-Ku, hai kamu yang letih lesu…”
Saya benar-benar merasakan kelegaan-Nya. Dalam ketakutan, beban batin, dan rasa bersalah yang menghimpit, saya menemukan jawaban karena saya memilih untuk tetap mencintai dan setia mengikuti-Nya.
Penutup
Jadi, Mas Wahyu, nyadran saya ke Belanda adalah wujud penghargaan yang mendalam terhadap para Romo Belanda yang dengan pengorbanan besar datang ke Indonesia untuk memperkenalkan Yesus kepada saya. Secara khusus, saya ingin menghormati Romo van der Putten dan Romo Kadarman yang bimbingannya begitu dalam menandai hidup saya. Inilah ziarah batin yang sekaligus menjadi nyadran iman saya.
Oleh: Aloysius Winoto Doeriat