Hari itu, jutaan umat Katolik dari berbagai penjuru dunia menanti dengan harap dan debar di dada: siapa yang akan muncul di balkon Basilika Santo Petrus sebagai pemimpin baru Gereja Katolik? Seperti banyak orang lain, aku menyaksikan layar televisi yang menyorot cerobong asap di Kapel Sistina. Lalu, asap putih mengepul—tanda bahwa pemimpin baru telah terpilih.
Sorak-sorai membahana. Kamera bergerak menyorot balkon megah itu. Beberapa detik kemudian, seorang pria muncul. Ia melangkah perlahan, melambai kepada umat yang memenuhi Lapangan Santo Petrus. Senyumnya tenang, tapi dalam senyum itu seolah tersembunyi beban yang berat.
Yang aneh, saat semua orang tampak gembira, aku justru diliputi rasa haru dan gentar. Dalam keramaian sorak itu, aku melihat sesuatu yang lain. Bukan sekadar seorang tokoh naik tahta, tapi seseorang yang sedang memulai perjalanan berat—sebuah jalan salib yang baru.
Malam itu aku terdiam lama. Sebuah pertanyaan muncul dalam hatiku: Jika aku yang dipanggil seperti itu, apakah aku siap?
Pertanyaan itu menampar kesadaranku. Aku merasa sangat kecil. Saat itulah aku menyadari, menjadi pemimpin rohani bukanlah soal kehormatan atau kemegahan. Tapi soal kesiapan untuk memikul salib—dengan hati yang rela. Soal keberanian meninggalkan kenyamanan, untuk melayani tanpa mengharapkan imbalan.
Dan panggilan itu, ternyata bukan hanya milik seorang Paus. Itu juga panggilanku. Panggilan kita semua—siapa saja yang ingin sungguh mengikuti Yesus.
Aku mulai merenung lebih dalam. Selama ini, aku mengira panggilan Tuhan selalu datang dalam bentuk besar: menjadi imam, menjadi biarawati, menjadi tokoh besar. Tapi malam itu aku sadar, panggilan untuk memikul salib datang setiap hari—dalam bentuk yang sederhana. Di rumahku. Di tempat aku belajar. Dalam keluargaku. Dalam pergaulan dan bahkan di tengah pergumulan batinku sendiri.
Tuhan tidak meminta aku menjadi sempurna. Tuhan hanya ingin aku bersedia. Bersedia melangkah, melayani, dan percaya—meski tak semua jelas di depan mata.
Aku membayangkan paus yang baru saja terpilih itu, duduk sendiri di ruangan kecil setelah namanya diumumkan. Mungkin ia menangis. Mungkin ia bergumam lirih, “Tuhan, aku tak layak.” Tapi justru di situlah Tuhan bekerja. Sebab Tuhan tak selalu memanggil yang sudah siap. Ia mempersiapkan yang mau menjawab panggilan.
Malam itu aku pun berdoa. “Tuhan, aku juga tak layak. Tapi jika Engkau memanggilku untuk memikul salibku hari ini—meski kecil, tersembunyi, tak dikenal siapa pun—kuatkanlah aku. Ajari aku untuk setia. Ajari aku untuk rendah hati. Ajari aku untuk berjalan, satu hari demi satu hari, dengan salib di pundak dan kasih di hati.”
Sebab kini aku tahu: di balik asap putih yang mengepul ke langit itu, aku tak hanya melihat seorang Paus. Aku melihat diriku sendiri. Dan aku mulai mengenali panggilanku.
Aku belajar malam itu bahwa jalan salib bukanlah akhir. Itu adalah awal dari perjalanan menuju kasih yang lebih dalam.
Amin.
wow, sangat luar biasa 👏