JUMAT, 23 MEI 2025
Dalam ruang-ruang terdalam kehidupan manusia, selalu ada kerinduan untuk diterima dan dicintai tanpa syarat. Bacaan hari ini mengalir dari sumber cinta itu sendiri—dari Allah yang menginisiasi, membentuk, dan memperluas persekutuan kasih melalui sabda dan tindakan nyata. Injil Yohanes menyalakan suluh paling terang saat Yesus berkata, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh. 15:12)
Ungkapan Yesus ini bukan sebatas ajaran moral. Ia menembus dinding-dinding kehidupan religius dan sosial yang sempit, menuju pada jantung pewahyuan: bahwa Allah, dalam diri Yesus, tidak lagi menyebut manusia sebagai hamba, melainkan sahabat. Di sini, kasih tidak lagi berbentuk instruksi dari atasan kepada bawahan, melainkan relasi timbal balik yang penuh penghormatan dan saling pengertian. Dalam persahabatan inilah, manusia diperkenankan masuk ke dalam hati Allah, mengambil bagian dalam rencana kasih-Nya yang menyelamatkan.
Namun, dalam pengalaman nyata Gereja purba, seperti yang dicatat dalam Kisah Para Rasul, kasih ini tidak selalu mudah dihidupi. Komunitas mula-mula dihadapkan pada ketegangan antara tradisi Yahudi dan masuknya bangsa-bangsa lain ke dalam tubuh Kristus. Ketika sidang di Yerusalem menghasilkan surat yang membebaskan bangsa-bangsa bukan Yahudi dari kewajiban Taurat tertentu, ada sukacita yang lahir: sebuah kelegaan karena kasih tidak diikat oleh syarat-syarat yang membebani jiwa. “Surat itu menyenangkan hati saudara-saudara dan menghiburkan mereka.” (Kis. 15:31)
Theolog James D. G. Dunn dalam “The Partings of the Ways” (2006) menegaskan bahwa momen ini adalah titik balik dalam perkembangan kekristenan sebagai agama yang inklusif. Di sini, hukum kasih melampaui sekat-sekat budaya dan ritus. Kasih menjadi jembatan, bukan tembok.
Mazmur hari ini meneguhkan ekspresi syukur atas kasih Allah itu. “Hatiku teguh ya Allah, hatiku teguh; aku mau menyanyi, aku mau bermadah.” (Mzm. 57:8) Bagi pemazmur, kasih Allah adalah alasan untuk bangkit dari kerapuhan dan memuji-Nya di tengah bangsa-bangsa. Ia tahu, cinta Allah bukan hanya untuk bangsa pilihan, tapi bagi seluruh bumi yang mengharapkan keadilan dan kedamaian.
Raymond E. Brown dalam “The Gospel According to John” (1970) menunjukkan bahwa kasih dalam Injil Yohanes bukan kasih yang sentimentil, tetapi kasih yang menuntut pengorbanan, seperti Yesus sendiri yang mengorbankan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya. Cinta di sini tidak diam, tetapi aktif: memberi, mengampuni, memanggil, dan menyembuhkan.
Kasih yang tidak bersyarat dan penuh pengorbanan itu adalah warisan utama yang diterima para murid. Maka tidak mengherankan bila relasi antara Yesus dan para pengikut-Nya semakin dalam. Mereka dipanggil untuk menjadi sahabat, bukan hanya pelaksana titah. Dalam persahabatan ini, perintah-perintah bukan lagi beban, tetapi buah dari cinta yang sejati.
Gereja masa kini pun diundang masuk ke dalam cara hidup seperti itu: membangun jembatan kasih di tengah perbedaan, menciptakan komunitas yang tidak didasarkan pada syarat atau status, melainkan pada kesediaan untuk saling mengasihi seperti Kristus mengasihi kita.
Daftar Pustaka
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John (XIII–XXI). New York: Doubleday, 1970.
- Dunn, James D. G. The Partings of the Ways: Between Christianity and Judaism and their Significance for the Character of Christianity. SCM Press, 2006.
- Brueggemann, Walter. The Message of the Psalms. Augsburg Fortress, 1984.
- Wright, N. T. Paul: A Biography. HarperOne, 2018.