25 MEI 2025, HARI MINGGU PASKAH VI
Dunia selalu mencari damai. Namun, tak sedikit yang gagal mengenal sumber sejati damai itu. Di antara gemuruh perdebatan, penyesuaian tradisi, dan pencarian arah hidup, kita diajak hari ini untuk merenungkan dari mana datangnya terang yang tidak pernah padam dan damai yang tidak pernah rapuh.
Di Antiokhia, komunitas awal gereja menghadapi krisis identitas. Apakah orang bukan Yahudi harus disunat agar menjadi bagian dari umat Allah? Persoalan ini bukan sekadar soal ritual, tapi menyentuh akar siapa yang disebut umat Allah sejati. Dalam Kisah Para Rasul 15, kita menyaksikan kebijaksanaan yang lahir dari perjumpaan, bukan pemaksaan. Para rasul dan tua-tua memutuskan bersama-sama, dibimbing oleh Roh Kudus, bahwa kasih karunia lebih utama daripada beban hukum. Ini bukan semata soal toleransi, tapi penegasan bahwa inti dari persekutuan adalah kasih, bukan kewajiban lahiriah. Seperti dikatakan Raymond E. Brown dalam An Introduction to the New Testament (1997), keputusan itu menjadi tonggak sejarah: Gereja bersandar pada Roh, bukan semata hukum, dalam membimbing umat menuju kebenaran.
Sementara itu, dalam Wahyu 21, Yohanes membawa kita masuk dalam sebuah visi yang menakjubkan: Yerusalem baru, yang turun dari surga, penuh kemuliaan Allah. Di sana, tidak ada lagi kenajisan, tidak ada Bait Suci, karena Tuhan sendirilah tempat suci umat-Nya. Tak ada lagi matahari, sebab Anak Domba menjadi terang yang abadi. Ini adalah gambaran Gereja akhir zaman, yang disempurnakan bukan oleh institusi atau hukum, tetapi oleh kehadiran ilahi yang menyinari tanpa bayangan. N.T. Wright, dalam Revelation for Everyone (2011), menyebut penglihatan ini sebagai simbol rekonsiliasi total antara ciptaan dan Sang Pencipta, di mana tidak ada lagi sekat antara manusia dan Allah.
Di tengah janji-janji tersebut, Injil Yohanes berbicara dengan lembut dan dalam. Yesus berbicara tentang kepergian-Nya, tetapi bukan dalam nada kehilangan, melainkan penghiburan. “Damai Kutinggalkan bagimu, damai-Ku Kuberikan kepadamu,” katanya. Damai yang dimaksud bukan sekadar ketenangan lahiriah, melainkan shalom—keutuhan batin yang datang dari persekutuan dengan Allah. Dalam karya klasiknya The Gospel According to John (1975), Rudolf Schnackenburg menekankan bahwa damai ini adalah buah Roh Kudus yang hadir sebagai Penolong. Roh itu akan mengingatkan dan mengajar, bukan hanya memberi informasi, tetapi membentuk hati umat agar tetap tinggal dalam kasih.
Ketiga bacaan hari ini berbicara dalam satu nada: kesatuan yang lahir bukan dari keseragaman, tetapi dari kasih; damai yang muncul bukan dari tidak adanya konflik, tetapi dari kehadiran Roh; terang yang bersinar bukan dari sistem dunia, tetapi dari wajah Allah sendiri.
Ketika komunitas gereja membuka dirinya terhadap pembaruan Roh, seperti yang dilakukan di Antiokhia, ketika umat Allah menantikan Yerusalem baru sebagai tempat tinggal damai dan keadilan, dan ketika kita membiarkan damai Kristus tinggal dalam hati, maka hidup kita akan menjadi bagian dari kemuliaan yang dinyatakan—sebuah cahaya yang tak bisa dipadamkan oleh dunia.
Damai yang diberikan Kristus bukanlah janji palsu, tetapi warisan abadi. Bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupi. Dan dalam setiap perayaan Ekaristi, dalam setiap doa yang kita panjatkan, kita mendekap damai itu, mengizinkannya menyusup lembut ke dalam keretakan hidup kita—sebagai terang dari Kota Allah yang terus menyala.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. New York: Doubleday, 1997.
- Schnackenburg, Rudolf. The Gospel According to St. John, Vol. 3. New York: Crossroad Publishing, 1975.
- Wright, N.T. Revelation for Everyone. Louisville: Westminster John Knox Press, 2011.
- Johnson, Luke Timothy. The Acts of the Apostles. Sacra Pagina Series. Collegeville: Liturgical Press, 1992.
- Beale, G.K. The Book of Revelation: A Commentary on the Greek Text. Grand Rapids: Eerdmans, 1999.