Di tengah semilir angin pagi di Neapolis, kapal yang ditumpangi Paulus dan rombongannya berlabuh, membawa serta semangat pewartaan Injil yang melampaui batas dan tradisi. Perjalanan itu bukan sekadar pelayaran fisik, melainkan sebuah peneguhan bahwa Roh Kudus sungguh bekerja dalam kejutan-kejutan Ilahi yang melintasi batas budaya dan gender. Di Filipi, sebuah kota penting di Makedonia, mereka tidak bertemu dengan kerumunan besar atau elite kota, melainkan dengan sekelompok perempuan yang berkumpul di tepi sungai. Di antara mereka, seorang perempuan bernama Lidia—pedagang kain ungu, cerdas, berpengaruh, dan terbuka hatinya.
“Dan Tuhan membuka hatinya,” tulis Lukas dengan lembut (Kis 16:14). Kalimat ini menggetarkan karena menunjukkan bahwa pewartaan tak lahir dari kepandaian retorika semata, tetapi dari kerja senyap Roh yang membuka hati manusia. Lidia menjadi lambang dari mereka yang, meski berada di luar komunitas Yahudi, merindukan Allah sejati. Dalam keterbukaannya, ia bukan hanya dibaptis, tetapi membuka rumahnya menjadi tempat tinggal para rasul. Ia menjadi batu pertama dalam pondasi Gereja di Eropa. Refleksi ini menggema dalam suara Yesus dalam Injil Yohanes: “Apabila Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran… Ia akan bersaksi tentang Aku” (Yoh 15:26). Roh itu tak hanya bersaksi, tetapi membangkitkan kesaksian di dalam hati orang-orang seperti Lidia.
Namun Yesus juga memberi peringatan yang tegas dan jujur. “Mereka akan mengucilkan kamu dari rumah-rumah ibadat… Mereka akan mengira bahwa dengan membunuh kamu mereka berbuat bakti kepada Allah” (Yoh 16:2). Ini bukan hanya nubuat tentang penganiayaan, tetapi pengungkapan kenyataan bahwa kesetiaan pada kebenaran bisa berbiaya mahal. Itulah jalan salib yang tersembunyi di balik kesaksian.
Dalam terang perayaan Santo Filipus Neri, bacaan ini menemukan gema rohaninya. Filipus, sang “rasul Roma,” adalah figur yang membawa sukacita dalam iman. Ia mencintai kaum muda, orang miskin, dan menjadikan rumahnya tempat pertobatan, pembelajaran, dan kehangatan spiritual. Sama seperti Lidia, ia membuka ruang bagi Roh untuk bekerja di tengah dunia yang keras. Ia dikenal akan doa-doanya yang mengalir dari hati yang terbakar oleh kasih, hingga dada jasmaninya dikatakan mengalami pembesaran secara fisik karena ledakan cinta ilahi.
Hans Urs von Balthasar dalam bukunya The Glory of the Lord (1982) menulis bahwa “keindahan adalah wajah kasih yang dapat dirasakan manusia.” Dan Filipus Neri, dengan wajah yang bersinar penuh humor dan kelembutan, memperlihatkan bagaimana kehadiran Roh Kudus menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak menciptakan teologi dalam aula akademik, melainkan di lorong-lorong Roma yang bau dan bising, namun justru menjadi tempat kesaksian iman yang sejati.
Demikianlah, kisah Lidia dan pesan Yesus tentang Roh Kebenaran berpadu dalam figur Filipus Neri. Iman bukan sekadar doktrin, tetapi relasi yang hidup antara hati manusia yang terbuka dan Roh yang menuntunnya dalam kasih, penghiburan, dan keberanian. Dari tepi sungai Filipi hingga lorong-lorong Roma, Roh itu tetap bekerja, membuka hati, dan memanggil kita untuk menjadi saksi dalam dunia yang merindukan kebenaran dan pengharapan.
Daftar Pustaka:
- Brown, Raymond E. The Gospel According to John (XIII–XXI). Anchor Yale Bible, 1970.
- Balthasar, Hans Urs von. The Glory of the Lord: A Theological Aesthetics, Vol. I: Seeing the Form. Ignatius Press, 1982.
- Wright, N.T. Paul: A Biography. HarperOne, 2018.
- Pope Benedict XVI. Jesus of Nazareth: Holy Week. Ignatius Press, 2011.
- Pelikan, Jaroslav. The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Volume 1. University of Chicago Press, 1971.