Awal menapaki dunia perkuliahan, rasanya seperti terjebak di persimpangan yang tak pernah terpeta dalam benak. Jurusan yang kini dijalani sama sekali tak pernah masuk daftar cita-cita semasa sekolah dulu. Bahkan, tak jarang muncul pertanyaan di kepala, “Bagaimana bisa aku sampai di sini?” Setiap hari, tubuh dan pikiran dipenuhi emosi negatif—sedih, marah, dan kecewa pada keadaan yang terasa tak adil.
Dulu, sosok ini hanyalah mahasiswa kupu-kupu: kuliah, pulang, kuliah, pulang. Hampir tak ada yang mengenal. Pernah, di suatu pengarahan di aula kampus, seorang mahasiswa menunjuk sambil berbisik ke temannya, “Siapa nama yang duduk di sebelahmu? Aku baru lihat dia.” Anehnya, semua itu tak lantas menyentil kesadaran. Justru dianggap sepele. “Ini bukan duniaku,” pikirnya saat itu. Tak perlu repot-repot peduli.
Waktu bergulir. Hanya ada dua teman dekat yang bisa diajak berbagi. Tapi perlahan, dunia mulai membuka ruang. Obrolan-obrolan kecil mulai tercipta, tawa mulai terdengar, dan kisah suka-duka mulai jadi warna dalam perjalanan akademik.
Hingga akhirnya, masa magang tiba. Macro Teaching di sebuah sekolah menjadi titik balik yang tak terduga. Di sana, dia seperti menemukan kembali potongan dirinya yang sempat hilang—dirinya yang dulu ceria, penuh semangat, dan mudah tertawa. Tapi di balik keceriaan itu, tetap saja ada sedih yang diam-diam datang. Hadir tanpa suara, tapi begitu terasa. Dan, anehnya, perasaan itu masih setia menyapa, hingga detik ini.
Menangis di Hadapan Bunda Maria
Saat sedih tak lagi bisa dibendung, ada satu pelarian yang selalu bisa diandalkan: memandang patung Bunda Maria sambil menangis. Entah mengapa, setiap kali melakukannya, hati terasa lebih tenang. Seakan ada pelukan tak kasat mata yang membuatnya diterima apa adanya, tanpa harus banyak kata. Dalam doa-doa sunyi itu, ada keyakinan bahwa Bunda Maria diam-diam mendoakan. Dan mungkin, itulah sebabnya masih mampu bertahan sejauh ini.
Kini, mahasiswa angkatan 2017 yang sempat dicap angkatan percobaan itu sudah sampai di tahap menyusun skripsi. Meski secara semester belum waktunya, tapi kenyataan berkata lain. Proses menentukan judul menjadi tantangan sekaligus refleksi mendalam. Tak disangka, tema skripsinya justru lahir dari pergulatan batin sendiri.
“Skripsi ini sebenarnya meneliti dirimu sendiri, tapi lewat orang lain.” Kalimat itu diucapkan dosen pembimbing saat bimbingan pertama. Awalnya terdengar asing, tapi makin lama justru menjadi kunci pemahaman.
Topik tentang sadness, emosi sedih yang pernah begitu lekat dalam keseharian, kini justru menjadi bahan penelitian. Merujuk Paul Ekman, salah satu pakar emosi, sadness adalah emosi dasar manusia yang muncul saat mengalami kehilangan atau kekecewaan. Menyusun latar belakang skripsi membuatnya menelusuri berbagai jurnal dan referensi. Di sanalah, ia menyadari bahwa sedih bukan musuh, melainkan bagian penting dari perjalanan hidup.
Menemukan Panggilan Lewat Luka
Perjalanan akademik yang semula terasa salah arah, pelan-pelan menemukan makna. Dari rasa sedih itu, tumbuh kepedulian terhadap orang lain. Dari pengalaman pribadi, lahir keinginan untuk hadir bagi mereka yang merasakan hal serupa. Perlahan, panggilan menjadi guru agama mulai terasa. Bukan sekadar mengajar di depan kelas, tapi juga menjadi pendengar, tempat bersandar, dan teman bagi siswa yang mungkin, diam-diam, memendam kesedihan yang sama.
Kini, skripsi itu belum rampung, bahkan masih di tahap awal. Tapi perjalanan menulisnya sudah cukup memberi pelajaran bahwa akademik bukan sekadar soal nilai dan gelar. Lebih dari itu, ini tentang berdamai dengan diri sendiri.
Suatu hari nanti, saat berdiri di depan kelas sebagai guru agama, dia ingin lebih dari sekadar menyampaikan materi. Dia ingin menjadi sosok yang hadir di saat sunyi, mengerti tanpa banyak tanya, dan menjadi terang bagi yang hatinya redup.
Karena siapa sangka, jalan yang dulu terasa seperti kesalahan… justru membawanya pulang, kepada dirinya yang sesungguhnya.